KETIK, SURABAYA – Pada hari ini Minggu 30 Maret 2025 Indonesia akan memperingati Malam Takbiran, karena perayaan Idulfitri dilaksanakan pada 31 Maret 2025.
Pakar budaya Islam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Ahmad Syauqi S Hum MSi menjelaskan hema takbir yang berkumandang dari masjid menandai kemenangan setelah sebulan berpuasa.
Indonesia misalnya, takbiran bukan sekadar ritual ibadah, melainkan warisan budaya Islam yang kaya dengan nilai-nilai kearifan lokal.
Ahmad menyebut sejarah tradisi takbiran di Nusantara sudah ada sejak masa kesultanan Islam. Tepatnya abad 15-18 M tradisi takbiran identik dengan tradisi keagamaan Islam.
Era kedua yaitu kolonial, sekitar abad 19-20 M pada zaman belanda dilaksanakan dengan kondisi yang terbatas.
Pakar budaya Islam Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Ahmad Syauqi S Hum MSi. (Foto: Humas Unair)
“Takbiran juga seringkali menjadi bentuk perlawanan simbolis era penjajahan,” terangnya.
Hingga kini takbiran identik dengan tabuhan bedug yang menggema. Namun, seiring waktu, tradisi ini terus berkembang, bahkan merambah ke ranah digital.
“Saat ini kita melihat fenomena takbiran virtual, melalui siaran langsung. Ini membuktikan bahwa esensi takbiran tetap bertahan, meskipun bentuknya terus beradaptasi,” imbuhnya.
Ia menyikapi tradisi takbiran di beberapa negara memiliki keunikannya sendiri.
“Di Indonesia, elemen budaya sangat kental dan Islam berakulturasi dengan budaya menghasilkan pawai obor, gema bedug, takbir keliling,”terangnya.
Ahmad mencontohkan di pulau Jawa, terdapat Takbir Keliling seperti Yogyakarta dan Solo. Sementara di Madura, takbiran dilakukan dengan tradisi Tellasan Topa’ dan di luar jawa seperti di Aceh, melakukan seni Rateb Meuseukat atau tarian sufistik dan di Minangkabau, Sumatera Barat, masyarakat mengadakan Takbiran Bararak.
Sementara di Bugis-Makassar, Sulawesi Selatan, terdapat tradisi Mappadendang, yang diiringi bunyi tabuhan lesung sebagai simbol rasa syukur.
“Masyarakat di nusantara sangat inklusif, tidak hanya menghargai ajaran Islam tetapi merangkul kebudayaan lokal. Keterlibatan masyarakat dari seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun di pelosok, jadi tidak ada perbedaan,” ungkapnya.
Di beberapa daerah, takbiran berubah menjadi ajang kompetisi siapa yang memiliki bedug terbesar, siapa yang bisa membuat replika masjid paling megah, atau siapa yang memiliki pawai takbir paling meriah. Tak jarang, perayaan ini juga diiringi dengan petasan dan kembang api, yang justru menjauhkan dari makna asli takbir.
“Malam takbiran adalah momentum sakral untuk merenungkan kebesaran Allah, bukan sekadar pesta. Jangan sampai kemeriahan justru menghilangkan substansi spiritualnya” tegasnya.
Ia juga mengingatkan takbir adalah bentuk pengakuan atas kebesaran Allah, sekaligus bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya.
“Yang perlu kita jaga adalah keseimbangan antara tradisi dan spiritualitas. Takbiran harus tetap menjadi ajang syiar Islam, bukan sekadar euforia sesaat,” pungkasnya. (*)