KETIK, SURABAYA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur resmi melarang perusahaan menetapkan batas usia dalam lowongan pekerjaan. Larangan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Timur Nomor 560/2599/012/2025 yang ditandatangani Khofifah Indar Parawansa pada 2 Mei 2025.
Surat tersebut telah disebarkan ke seluruh pimpinan perusahaan di Jawa Timur sebagai upaya mendorong dunia usaha lebih inklusif terhadap pencari kerja
Prof Dr M Hadi Subhan SH MH CN, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) memberikan pandangannya terkait surat edaran tersebut.
“Kalau saya pikir, soal usia itu bukan diskriminasi. Jadi, seharusnya tidak perlu diatur sama surat edaran gubernur. Karena di putusan MK juga sudah diputuskan bahwa pembatasan usia minimal maupun maksimal bukan diskriminasi,” paparnya.
Ia juga menambahkan soal hal lain yang ada di dalam SE, misalnya tentang penahanan ijazah.
Di dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan mengenai hal tersebut, namun peraturan daerah sudah mengatur. Maka dari itu, SE dalam konteks penahanan ijazah dapat berfungsi untuk menguatkan.
Menurutnya, surat edaran gubernur termasuk ke dalam peraturan kebijakan. Dalam segi kedudukan, peraturan kebijakan lebih rendah daripada peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak ada sanksi pidana jika terdapat perusahaan yang melanggar SE ini.
“Paling banter itu sanksi administratif. Kalau misalnya ini terkait perusahaan bisa saja nanti perusahaan itu dikenakan sanksi administrasi," jelas Prof Hadi.
Misalnya ada izin tertentu yang dicabut, lalu misalnya ada pelayanan publik yang dihentikan, dan seterusnya. Kalau untuk sanksi pidana enggak ada,” tegasnya.
Batas Usia Bukan Diskriminasi
Alih-alih sebagai diskriminasi, Prof Hadi justru menilai bahwa pemberian syarat usia pada pelamar kerja sebagai bentuk penyesuaian pada kebutuhan suatu perusahaan.
“Karena orang yang usianya 35 itu juga dulu pernah berusia di bawah 35. Beda dengan misalnya pelamar hanya boleh dari suku Jawa, yang bukan suku Jawa kan jelas ngga bisa karena tidak akan pernah menjadi suku Jawa,” jelasnya.
“Terkait diskriminasi, pada Undang-Undang Ketenagakerjaan telah dijelaskan, tepatnya pada pasal 5. Apa yang mencakup diskriminasi adalah soal jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik,” ucapnya.
Sehingga, menurut Prof Hadi, soal batas usia ini bukan merupakan sesuatu yang mendesak. Baginya, dalam mengatasi gap usia, pemerintah dapat mendorong peningkatan kompetensi pelamar kerja. Misalnya dengan penyediaan balai pelatihan kerja gratis.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memaksimalkan pengawas ketenagakerjaan sebagai bentuk perlindungan bagi para pekerja. (*)