KETIK, SURABAYA – Tantangan dunia usaha bukan hanya perihal perekonomian saja, namun tindakan premanisme berkedok organisasi masyarakat (ormas) juga menimbulkan kekhawatiran.
Banyak pelaku usaha yang cemas, khawatir dipalak oleh tindakan premanisme ormas ini.
Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Dr. Aribowo, Drs., MS. menjelaskan bahwa banyak faktor yang menjadikan ormas yang kental dengan premanisme muncul. Terutama akibat minimnya lapangan pekerjaan.
Ormas kerap hadir di sektor-sektor informal, bahkan ilegal. Misalnya mereka sering ditemui meminta pungutan liar ke UMKM hingga perusahaan.
“Jadi ini masyarakat tidak diberikan pekerjaan oleh negara, tetapi negara juga tidak mampu memberikan fasilitas dan tidak punya kreativitas,” ujarnya.
Ia mencontohkan banyak pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di trotoar. Hal ini menyebabkan ketidakteraturan lalu lintas dan mengganggu estetika. Alhasil mereka yang berada di kelas ekonomi bawah akan selalu dianggap mengotori oleh kelas ekonomi menengah ke atas.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian negara. Pengelolaan sumber ekonomi sudah sepatutnya menggandeng masyarakat, sehingga menciptakan sirkulasi ekonomi yang merata.
Peningkatan keterampilan dan pendidikan masyarakat serta peluang pekerjaan diperlukan agar masyarakat tidak lantas memasuki sektor pekerjaan yang melanggar hukum.
Dulu santer dikenal penembakan misterius (Petrus) sebagai cara untuk menumpas kelompok yang dinilai mengganggu keamanan. Namun, praktik tersebut jelas melanggar HAM dan tidak dapat dibenarkan untuk diterapkan kembali.
Dalam hal ini, Ari optimistis negara dapat menumpas ormas-ormas yang meresahkan tanpa menggunakan cara koersif seperti Petrus.
“Negara itu punya kekuasaan, punya kekuatan, punya peralatan. Jadi mereka bisa lakukan apa saja kepada masyarakat, termasuk ormas itu,” ungkap Ari.
Namun, di sisi lain, Ari berpendapat bahwa ormas juga tidak mudah untuk dihilangkan sepenuhnya. Terutama jika ormas masih memiliki kedekatan dengan elite politik, yang menjadi rahasia umum bahwa mereka 'memelihara' ormas-ormas yang meresahkan tersebut.
Dalam hal ini, masyarakat harus kritis terhadap kehadiran ormas. Tidak hanya kepada ormas, namun juga kepada negara yang secara tidak langsung ‘menyuburkan’ dengan bersikap tidak serius dalam menumpas ormas nakal.
“Supaya masyarakat tidak memberi keleluasaan kepada ormas yang nyata-nyata melanggar hukum,” pungkas Ari. (*)