Panjat Popularitas: Antara Kebutuhan dan Kemudaratan

11 Maret 2025 20:42 11 Mar 2025 20:42

Thumbnail Panjat Popularitas: Antara Kebutuhan dan Kemudaratan Watermark Ketik
Oleh: Ali Mursyid Azisi*

Isu panjat popularitas (popularity climbing) di era digital ini memiliki sisi keunikan tersendiri untuk dikaji. Uniknya, tidak melulu berupa pamer harta kekayaan, jabatan, ataupun kebanggaan kesuksesan, namun kini bergeser menjadi budaya baru untuk menghasilkan uang.

Komersialisasi digital berbasis konten kreatif ini dinilai menggiurkan dibanding pekerja kantoran. Ini memang positive effect atas transformasi teknologi.

Namun, seiring ketatnya persaingan industri konten belakangan ini, sebagian kalangan memilih jalan ninja panjat popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk menggiring like, fyp, viewers dan followers untuk mengunjungi konten produksinya.

Berkembangnya budaya ini bersamaan dengan masifnya penggunaan teknologi. Seperti yang dilaporkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APIJII) bahwa, total jumlah pengguna internet pada 2024 menyentuh angka 79,5% atau setara 221.563.479 jiwa dari populasi sekitar 278.696.200. 

Mayoritas kalangan yang berselancar di ruang maya ini didominasi Gen Z (34,40%), Gen Milenial (30,62%), Gen X (18,98%), Post Gen Z (9,17%), Baby Boomers (6,58%) dan Pre Boomers (0,24%). Atas dominasi kalangan muda ini mendorong mereka untuk menunjukkan eksistensinya di ruang maya dengan berbagai identitas, salah satu motivasinya adalah mendapat popularitas. 

Panjat popularitas di media sosial sebenarnya tidak masalah jika dilakukan dengan memperhatikan moralitas, etika, budaya andap asor, berpedoman pada keilmuan, berintegritas, mengedukasi dan tidak menyesatkan. Untuk mencapai popularitas yang berintegritas di tengah arus keterbukaan teknologi bekal ini sebenarnya sudah cukup. 

Namun faktanya, sebagian konten kreator tutup mata atas pedoman tersebut. Maraknya konten tidak mendidik berupa pelecehan, pencemaran nama baik, parodi lawak di atas penderitaan orang lain, merendahkan, membanggakan diri, ujaran kebencian, bahkan konten absurd menjadi tren baru yang digandrungi netizen.

Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama bahwa, saat ini marak konten kreator hanya mementingkan penggung sosial dan meraup komersial liar, namun mengenyampingkan nilai etika, moral, normal sosial dan agama.

Popularitas: Antara Kebutuhan dan Problem

Popularitas di sebagian bidang memang dibutuhkan sekaligus dinilai menguntungkan. Semisal dalam bidang politik, selain integritas dan elektabilitas, popularitas menjadi modal berharga yang harus dimiliki seseorang jika ingin memperoleh kekuasaan dan terjun ke ranah publik. 

Hal ini selaras dengan konsep “popularity sociometric” yang digagas oleh Al Freedman, tentang kepopuleran seseorang serta pengaruhnya terhadap elektabilitas politiknya. Ini telah terbukti bahwa politisi yang sudah populer bahkan kalangan publik figur (artis) sukses terpilih di ranah politik (DPR RI).

Selanjutnya dalam bidang ekonomi, popularitas brand maupun owner berperan penting dalam menjaring konsumen. Selain kualitas produk yang ditawarkan, privilege owner di era modern ini juga menjadi faktor keputusan konsumen untuk membeli. Ini juga menjadi bekal dalam memulai dan mengembangkan bisnis. 

Kemudian dalam ranah sosial popularitas menjadi penanda identitas, namun masih menyisakan tarik ulur perdebatan. Di satu sisi, popularitas muncul dengan sendirinya atas prestasi dan kemampuan atau bahkan turunan dari keluarga. 

Di sisi lain popularitas diciptakan oleh individu itu sendiri dengan jalan popularity climbing. Popularity climbing ini sebenarnya irisan dari teori social climbing (panjat sosial) yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard, seorang sosiolog post-modern dari Prancis. 

Ia berargumen bahwa manusia kontemporer memercayai pertukaran simbolis merupakan jalan pintas untuk membangun hubungan sosial. Baudrillard menyatakan bahwa konsumsi tidak cukup dipahami hanya sekedar nilai guna, namun lebih utamanya adalah simbol atau tanda. 

Konsumsi didefinisikan sebagai suatu upaya penggunaan simbol secara sistematis dalam rangka memberikan tanda status atau posisi sosial tertentu. Demikian disebabkan karena identitas kultural dan simbol sosial dibentuk untuk menemukan makna sosial di dalamnya.

Konsep ini berangkat dari strata ekonomi individu dan budaya konsumsi yang kemudian menentukan kelas sosialnya. Semakin tinggi budaya konsumsi, maka kelas sosialnya dinilai lebih tinggi, begitupun sebaliknya. 

Social climbing sejatinya perilaku sosial yang dilakukan individu dalam rangka meningkatkan status sosialnya. Segala upaya akan dilakukan untuk memperoleh pengakuan sosial lebih tinggi dengan cara mengkonstruksi persamaan pola hidup, gaya dan penampilannya. 

Tanpa disadari, sejatinya tindakan ini memiliki efek cobra (efek berbahaya) dalam struktur sosial. Seperti halnya panjat popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk kepentingan komersial sejatinya termasuk penyimpangan sosial. Ini justru menjadi patologi sosial yang berpotensi dilakukan secara kompulsif hingga membudaya. 

Melemahnya Tiga Unsur Keseimbangan Sosial 

Dalam wacana struktural fungsional Robert K. Merton, penyimpangan sosial bertentangan dengan fitrah manusia dan masyarakat. Wacana ini menjelaskan bahwa struktur masyarakat terbangun dari berbagai unsur yang saling mendukung agar terjadi keseimbangan yang dinamis dalam kehidupan sosial.

Untuk mencapai keteraturan tersebut, Merton menekankan aspek harmoni, kesatuan dan stabilitas sosial. Sedangkan popularity climbing dengan menghalalkan segala cara termasuk tindakan yang dapat mengacaukan tatanan yang ada. Hal ini menyebabkan disfungsi sosial.

Berkembangnya popularity climbing menandakan bahwa struktur masyarakat sedang terancam karena melemahnya beberapa unsur yang semestinya berperan menjaga keseimbangan sosial. 

Unsur pertama yang dimaksud adalah etika. Etika pada dasarnya merupakan landasan bagi manusia untuk mengatur tindakannya. Tindakan yang tidak sesuai etika seperti popularity climbing dengan mengenyampingkan nilai sosial ini merupakan masalah serius. 

Hal ini dibuktikan dengan adanya unsur merendahkan orang lain, tindakan tidak mendidik, membuat konten dewasa terlarang yang bertentangan dengan norma. Terkait hal ini, Ruswort M. Kidder dalam tulisannya How Good People Make Tough Choice menegaskan bahwa, untuk mencapai kehidupan ideal prinsip etika harus dipegang teguh didasarkan pada rasa hormat, kejujuran dan kasih sayang.

Unsur kedua adalah moralitas. Ini terkait dengan hilangnya kesadaran sebagian manusia modern dalam menilai benar salah atau baik buruk tindakannya. Jika ini dibiarkan dan tidak ditangani sedini mungkin maka berpotensi menjadi budaya negatif yang lazim dilakukan di masa mendatang hanya untuk kepentingan komersial semata. 

Menurut Geoffrey Warnock dalam The Object of Morality, aspek moral sangat melekat dengan tingkah laku manusia. Kesadaran moral memiliki peranan penting dalam mengontrol tindakan manusia supaya tidak keluar dari batasan norma yang sudah berlaku dalam kehidupan sosial.

Adapun unsur ketiga adalah agama. Jika agama tidak dijadikan landasan dalam bersosial dan diamalkan sebatas ritual saja maka akan mengguncang struktur masyarakat yang ada dan mengancam keruntuhannya. Sejatinya, nilai-nilai agama berperan penting dalam menuntun etika dan moral masyarakat. 

Runtuhnya nilai dasar ini berdampak buruk pada proses interaksi sosial bahkan dapat mengancam identitas dan masa depan bangsa. Popularity climbing sejatinya memiliki dua mata dampak. Jika tidak dimanfaatkan dengan bijak, maka akan menuai efek berantai yang keluar dari struktur sosial yang ada. 

*) Ali Mursyid Azisi, M.Ag merupakan Pengurus PW LTN NU Jatim 2024-2029 dan Peneliti dalam Bidang Sosial-Keagamaan di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Panjat Popularitas Ali Mursyid Azisi