Mewujudkan Cita-Cita Pancasila: Melawan Kemiskinan, Menghapus Ketimpangan

1 Juni 2025 14:54 1 Jun 2025 14:54

Thumbnail Mewujudkan Cita-Cita Pancasila: Melawan Kemiskinan, Menghapus Ketimpangan
Oleh: Ahmad Syaifullah*

Setiap 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Pancasila bukan hanya sekadar lima sila yang tertera dalam pembukaan UUD 1945, melainkan falsafah hidup yang memandu arah pembangunan bangsa. Namun, di tengah gegap gempita peringatan ini, realitas yang kita hadapi masih jauh dari cita-cita Pancasila. 

Kemiskinan dan ketimpangan masih menghantui banyak wilayah Indonesia, terutama daerah-daerah tertinggal. Pertanyaan mendasar muncul: mengapa ketimpangan ini tetap terjadi meski kita sudah memiliki dasar negara yang begitu mulia? 

Dalam buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson, dijelaskan bahwa penyebab utama kegagalan suatu negara bukan terletak pada sumber daya alamnya yang terbatas, atau geografinya yang kurang strategis, melainkan pada institusi yang mengaturnya.

Negara yang gagal adalah negara yang membiarkan institusi politik dan ekonomi dikuasai oleh segelintir elite demi kepentingan mereka sendiri—institusi semacam ini disebut ekstraktif. Sebaliknya, negara yang berhasil menciptakan kesejahteraan luas bagi rakyatnya adalah negara yang memiliki institusi inklusif, yang membuka kesempatan bagi semua warga untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

“Nations fail today because their extractive economic institutions do not create the incentives needed for people to save, invest, and innovate. Instead, these institutions are structured to extract resources from the many by the few and, by doing so, block economic progress.” (Why Nations Fail, hal. 370).

Pernyataan ini menggambarkan dengan jelas bahwa akar persoalan kemiskinan dan ketimpangan bukanlah semata-mata kekurangan sumber daya, melainkan karena sistem yang menutup akses kesempatan dan mematikan kreativitas rakyat. 

Konsep ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Sila kelima Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” seolah menjadi slogan kosong jika tidak diikuti dengan upaya nyata membangun institusi inklusif. Ketimpangan yang terjadi bukan hanya soal perbedaan penghasilan antara si kaya dan si miskin, tetapi juga mencerminkan distribusi kekuasaan dan kesempatan yang timpang.

Di banyak daerah, kelompok-kelompok kecil yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya ekonomi justru memperkuat posisinya, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton dalam pembangunan.

Acemoglu dan Robinson menekankan bahwa kemiskinan adalah hasil dari kegagalan sistemik, bukan semata-mata akibat kurangnya modal atau keterampilan. Negara yang institusinya ekstraktif cenderung menciptakan lingkaran setan kemiskinan, di mana masyarakat miskin sulit keluar dari kemiskinan karena tidak adanya akses yang adil terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi. 

Inilah yang kita lihat di berbagai pelosok Indonesia—ketimpangan pendidikan yang parah, pelayanan kesehatan yang timpang, serta kesempatan berusaha yang hanya dimonopoli oleh segelintir pihak. “Extractive institutions not only fail to generate sustained economic growth, they also block and distort the process of creative destruction.” Begitu mereka menegaskan dalam bukunya (Why Nations Fail, hal. 84). 

Di Indonesia, membangun institusi inklusif berarti memastikan bahwa Pancasila benar-benar diterjemahkan ke dalam kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Pendidikan yang berkualitas dan merata, perlindungan sosial yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat, akses modal bagi UMKM, dan pemberantasan korupsi yang sistemik adalah langkah-langkah konkret untuk mewujudkan sila kelima. 

Tanpa langkah-langkah ini, peringatan Hari Pancasila hanya akan menjadi seremonial belaka, sementara ketimpangan dan kemiskinan terus membelenggu. Momentum 1 Juni ini seharusnya menjadi titik refleksi. 

Apakah kita sudah benar-benar menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk membangun institusi yang inklusif? Ataukah kita masih terjebak dalam pola pikir sempit yang menempatkan kekuasaan dan kekayaan hanya di tangan segelintir orang? Why Nations Fail mengingatkan kita bahwa perubahan tidak datang dengan sendirinya. 

Diperlukan keberanian politik untuk mereformasi institusi yang sudah mapan tetapi tidak inklusif. Diperlukan keberanian untuk melawan korupsi, memperbaiki birokrasi, dan membuka ruang partisipasi bagi semua warga. 

Dalam hal ini, Pancasila bukan sekadar simbol atau retorika, tetapi harus menjadi pedoman konkret. Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial bukan hanya slogan, melainkan komitmen yang harus diwujudkan dalam kebijakan publik. 

Kita perlu memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, bukan sekadar melayani kepentingan elite. Jika tidak, Indonesia berisiko terperangkap dalam “jebakan kemiskinan institusional” seperti yang digambarkan Acemoglu dan Robinson. 

Sebuah kondisi di mana ketimpangan semakin melebar, kemiskinan semakin dalam, dan kesempatan untuk bangkit semakin sempit. Negara yang gagal bukan karena rakyatnya malas atau kurang inovatif, melainkan karena sistem yang ada mematikan potensi mereka. 

Sebaliknya, jika kita benar-benar memaknai Pancasila, kita akan berani membangun institusi inklusif yang berpihak pada rakyat kecil. Kita akan berani memastikan bahwa akses pendidikan, kesehatan, modal usaha, dan kesempatan kerja terbuka luas bagi semua. Kita akan berani menegakkan keadilan yang tidak pandang bulu dan memberantas korupsi yang menjadi akar dari ketimpangan. 

Hari Pancasila bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang membangun masa depan. Masa depan yang bebas dari kemiskinan dan ketimpangan, masa depan yang benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Seperti yang diingatkan oleh Why Nations Fail, keberhasilan suatu bangsa bukan ditentukan oleh kekayaan alam atau letak geografisnya, melainkan oleh kemauan politik untuk membangun institusi yang inklusif. Inilah tantangan kita bersama sebagai bangsa yang ber-Pancasila.

*) Ahmad Syaifullah adalah Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) X, Pegiat di Social and Economic Center (SEC), sekaligus Dewan Instruktur PC GP Ansor Kota Kraksaan

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Hari Lahir Pancasila Ahmad Syaifullah