Banyak orang masih belum benar-benar paham, apa sebenarnya tugas seorang Pendamping Desa. Tak sedikit yang mengira, pekerjaan ini cuma soal bantu-bantu ngurus proyek, mengontrol Dana Desa, atau bikin laporan buat pemerintah.
Padahal, tugas pendamping jauh lebih besar dari sekadar angka dan formulir. Kami ada di sini bukan hanya untuk mengawal dana, tapi untuk menemani desa dari bangun pagi sampai lampu-lampu terakhir padam di malam hari. Dari persoalan kecil seperti pagar posyandu yang rusak, sampai impian besar membangun kemandirian desa.
Pendamping desa berjalan bersama desa, bukan di depan atau di belakang, tapi sejajar. Kami mendengarkan, bukan memerintah. Kami menawarkan gagasan, bukan mengganti keputusan warga. Tujuan utamanya sederhana tapi besar, membantu desa menjadi self-governing community komunitas yang bisa mengatur dirinya sendiri, membangun dengan caranya sendiri, tanpa harus terus-menerus menunggu perintah dari atas.
Tugas ini muncul dari semangat besar Undang-Undang Desa yang lahir tahun 2014. Dalam undang-undang itu, desa diakui punya hak untuk mengurus dirinya sendiri, punya kekuasaan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan.
Desa bukan lagi sekadar 'bawahan' dari kabupaten atau kota, tapi berdiri sebagai pemerintahan lokal yang punya suara sendiri. Nah, di titik itulah peran Pendamping Desa jadi penting, sebagai penghubung antara mimpi desa dan kenyataan di lapangan.
Tapi jujur, pekerjaan ini tidak mudah.
Bayangkan, masuk ke desa yang belum pernah kenal istilah partisipatif. Bertemu dengan warga yang sudah terbiasa mengangguk saja saat rapat, atau kepala desa yang berpikir bahwa pembangunan itu cuma soal jalan dan tembok. Pendamping harus bisa perlahan-lahan mengajak mereka berpikir berbeda. Bukan dengan memaksa, tapi dengan menunjukkan. Bukan dengan menyalahkan, tapi dengan mengajak melihat bersama.
Di sinilah seni pendampingan itu bekerja. Bukan soal teori yang kita bawa dari buku, tapi soal bagaimana menyampaikan ide dengan cara yang bisa diterima. Pendamping harus jadi teman ngobrol, jadi pendengar, kadang juga jadi tempat curhat. Dan yang paling penting, harus mampu menumbuhkan kesadaran baru bahwa warga desa punya hak untuk bermimpi lebih besar dan mewujudkannya bersama-sama.
Kami sering menyebutnya sebagai alih kesadaran. Mengubah cara pandang dari yang semula "ngikut aja" menjadi "yuk kita rancang bareng." Dari yang hanya "nunggu dana cair" jadi "apa yang bisa kita buat dengan potensi yang ada?" Transformasi seperti ini tidak terjadi dalam sehari dua hari. Ia butuh proses, butuh waktu, dan yang paling mahal: kepercayaan.
Pendamping Desa bukan superhero. Kami juga sering lelah, bingung, bahkan merasa tak berguna ketika ide yang kami bawa dianggap terlalu rumit, atau saat warga sudah apatis karena trauma masa lalu. Tapi ketika satu warga mulai bicara dengan percaya diri dalam musyawarah desa, atau saat pemuda desa menginisiasi kelompok usaha mandiri tanpa disuruh, rasanya semua lelah itu dibayar lunas.
Pekerjaan ini penuh momen kecil yang menghangatkan hati. Seorang ibu yang dulu tak berani berbicara kini jadi motor penggerak kelompok tani wanita. Anak-anak muda yang dulu memilih merantau kini mulai melirik potensi kampung halamannya. Semua perubahan itu terjadi bukan karena kami paling tahu, tapi karena kami hadir, mendengarkan, dan percaya bahwa warga desa bisa kalau diberi ruang dan kesempatan.
Tantangan ke depan masih panjang. Apalagi ketika birokrasi kadang terlalu kaku, atau ketika Pendamping sendiri diukur hanya dari administrasi, bukan dampak sosial. Tapi selama desa masih ingin berubah, kami akan tetap di sini. Menjadi teman sebaya, menyertai dengan hati, bukan hanya dengan target kerja.
Sebab pada akhirnya, pembangunan desa bukan soal angka dan laporan. Ini soal manusia dan harapan. Soal mimpi dan keberanian untuk memulai perubahan dari hal kecil, soal merubah mindset dari statis-tradisional menuju dinamis-rasional. Dan di setiap tapak perubahan itu, Pendamping Desa hadir diam-diam bekerja, perlahan-lahan merawat harapan.
*) Moch. Efril Kasiono merupakan pendamping desa
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)