Ibadah haji adalah jalan suci, yang diimani sebagai sebuah undangan (panggilan) Ilahi. Ketika kita memenuhi panggilan Tuhan, sudah luruskah niatan kedatangan kita untuk benar-benar ingin bertemu dengan Sang Pengundang? Dan, sudahkah kedatangan kita bertemu dengan Sang Pengundang?.
Sebagaimana kita ketahui haji diwajibkan bagi yang mampu (menguasai ilmunya, jadi bukan hanya punya biaya untuk pergi ke Baitullah). Berkata Junaidi al-Baghdadi, seorang ulama dari persia: ”barang siapa naik haji dan ia tidak tahu rahasia/hakikat haji maka tidaklah diterima/sempurna hajinya,walaupun ia naik haji berkali-kali”
“Kalaulah sebuah pertunjukan, Ibadah haji adalah pertunjukan kolosal. Drama kolosal.” Dr. Ali syariati, seorang pemikir dari Iran, di dalam bukunya “Hajj” menggambarkan peristiwa haji dengan sangat apik:
“Allah (Tuhan) sutradaranya; para pemain utamanya meliputi Adam, Siti Hawa, Ibrahim, Hajar, Ismail dan setan; panggung pertunjukannya adalah Masjid al-Haram, daerah Haram, Nas’a, Arafah, padang Masy’ar dan Mina; Ka’bah, Shafa, Marwah, upacara kurban adalah simbol-simbol dan properti; Pakaian dan make up-nya adalah ihram, halgh dan taqshir (mencukur sebagian rambut kepala)”.
Saat kita menapak jalan suci, memenuhi panggilan dan berada di arena pertunjukan yang penuh simbol, di sebuah panggung besar: Siapakah kita di tengah-tengah pertunjukan ini? Adam dan Siti Hawa-kah kita? Ibrahim-kah kita yang senantiasa rela berkurban? Hajar-kah kita yang rela sendiri membangun peradaban? Ismail-kah kita dengan totalitas kepasrahan dan penyerahan diri? Atau jangan-jangan kita adalah setan itu sendiri, atau jangan-jangan kita biarkan setan dalam diri menjadi sutradara?
Di negeri ini, jutaan orang telah menunaikan ibadah haji, dan jutaan orang masih mengantri untuk pergi. Seiring berjalannya waktu, haji telah berubah arti yang tidak hanya sebagai kegiatan religi. Namun, haji telah menjadi istilah dan menempati strata tersendiri; utamanya pada kegiatan-kegiatan seremonial kemasyarakatan, begitu pula pada kegiatan ekonomi. Ibadah haji merupakan prioritas dalam kehidupan yang diimpikan oleh semua orang.
Bahkan, ibadah haji pun dijadikan gelar yang diletakkan di depan nama dengan huruf “H” besar, sebagai gelar “kebangsawanan baru”. Gelar Haji telah menjadi ukuran keberhasilan hidup dan kesempurnaan dalam beragama, serta dijadikan sebagai pencapaian yang memiliki tempat tersendiri karena dengan gelar haji akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap pemilik gelar (riya).
Dengan adanya peningkatan kondisi ekonomi yg juga berdampak pada adanya kemudahan transportasi, tidak sedikit orang menunaikannya berulang-ulang, dan tidak sedikit pula yang setiap “musim haji” pergi ke tanah suci.
Ibadah haji yang semula merupakan “perjalanan menuju kematian” (menurut riwayat, perjalanan haji dulu, membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan taruhan nyawa), yang dulu lebih menggambarkan wataknya yang suci dan beradab, kini menampakkan wajah “keserakahan spiritual”. Akibatnya, hari ini, kita sering menyaksikan pertikaian, penipuan dan ketegangan atas nama haji. Pergeseran makna yang cukup membuat ngeri.
Jalan suci yang sebenarnya sarat simbol ini relevan untuk direfleksikan ulang akan nilai dan maknanya yang berupa tauhid dan solidaritas kemanusiaan. Seyogyanya, makna dari simbol-simbol ritual yang harus dipahami, bukan formalitasnya.
Nilai dan makna itu begitu penting, saat negri ini masih kerap didera oleh bencana: korupsi, manipulasi, berbuat kerusakan dan kriminal, melakukan maksiat dan fitnah, merusak lingkungan hidup; Sikap dan perbuatan yang bisa melecehkan martabat dan menghancurkan kehidupan manusia masih sering kita saksikan; Sepertinya benar apa yang dikatakan orang: di bumi Pancasila ini makin sedikit orang yang mau berkorban, dan makin banyak orang yang mengorbankan orang lain.
Mahatma Gandhi—seorang pemimpin gerakan kemerdekaan India—mengingatkan: "Salah satu dosa sosial terberat yang menimbulkan krisis dalam masyarakat adalah keimanan (peribadatan) tanpa pengorbanan". Rumah-rumah ibadah, Majelis dzikir, dan minat naik haji berkembang. Pada saat yang sama, kesediaan untuk berbagi kebahagiaan, memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan toleransi masih terasa lemah
Mufakat apa yang dikatakan bahwa Ibadah haji dan Idul Kurban dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Jalan Suci seharusnya memberi kesadaran bahwa keimanan sejati harus dibuktikan dalam kesediaan melakukan pengorbanan.
Diperlukan tekad dan keberanian untuk menyembelih hasrat korup demi kesehatan negara-bangsa, menyembelih keserakahan demi kesetaraan, menyembelih elitisme demi penguatan kerakyatan, menyembelih komunalisme demi solidaritas kewargaan, menyembelih pemborosan demi kelestarian, menyembelih hedonisme demi produktivitas, menyembelih kekerasan demi kebahagiaan hidup bersama.
Akhir kata, mengamini wejangan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam menapak jalan suci: Haji adalah perumpamaan dari Kematian Kehendak yang akan memunculkan Kehidupan Hakiki. Jadi barangsiapa yang ingin mencapai haji dan kehidupan sejati, maka hendaklah ia “mematikan” dirinya dari segala hal yang berhubungan dengan Kehidupan yang tidak abadi yang merupakan pinjaman Ilahi.
*) Supriyadi Karima Saiful merupakan Ketua Kwarcab Pramuka Kota Mojokerto
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)