Dinamika PKH dan Graduasi Mandiri

13 Juni 2025 21:07 13 Jun 2025 21:07

Thumbnail Dinamika PKH dan Graduasi Mandiri
Oleh: Didik Purwanto*

Di tengah wajah kemiskinan yang terus berubah bentuk di Indonesia, Program Keluarga Harapan (PKH) hadir sebagai salah satu jawaban paling strategis. Lebih dari sekadar bantuan tunai, PKH dirancang untuk mengubah wajah keluarga miskin dari sekadar penerima bantuan menjadi aktor utama pembangunan. 

Namun seiring waktu, tantangan program ini tak hanya soal distribusi, melainkan bagaimana keluarga penerima mampu bergraduasi: keluar dari kemiskinan secara bermartabat dan mandiri. 

Diluncurkan sejak 2007, PKH merupakan skema bantuan bersyarat yang menyasar rumah tangga sangat miskin dengan komponen rentan, seperti ibu hamil, balita, anak sekolah, penyandang disabilitas berat, dan lansia. Bantuan diberikan dengan satu tujuan besar: mendorong perubahan perilaku lewat syarat-syarat pendidikan dan kesehatan. 

Orang tua harus memastikan anaknya ke sekolah, membawa balita ke posyandu, menjaga kesehatan anggota keluarga. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan upaya mendorong investasi sosial jangka panjang.

Logika di balik kebijakan ini sederhana namun visioner: bantuan bukan untuk meninabobokan, tetapi menjadi pendorong agar keluarga mulai bergerak, memperbaiki hidup, dan perlahan lepas dari ketergantungan.

Pendamping: Ujung Tombak Perubahan

Di balik keberhasilan PKH, berdirilah para pendamping sosial. Mereka bukan sekadar fasilitator program, tetapi jembatan kemanusiaan antara negara dan warga yang paling rentan. Tugas mereka bukan hanya mencatat dan melaporkan, tetapi menyulut api semangat mengantar warga dari kebiasaan pasif menuju pola hidup yang lebih aktif dan produktif.

Pendamping mengawal proses dari hulu hingga hilir, mulai dari verifikasi data, pencairan bantuan, pertemuan kelompok, hingga edukasi keluarga. Dari interaksi intens inilah perubahan kerap dimulai, seorang ibu rumah tangga yang semula pasif mulai membuka usaha kecil, anak-anak yang dulunya bolos kini rajin sekolah, dan keluarga-keluarga yang perlahan belajar bermimpi.

Graduasi, yakni keluarnya keluarga dari program karena telah mampu secara sosial dan ekonomi, menjadi indikator keberhasilan utama PKH. Graduasi bisa terjadi secara alami karena pindah, meninggal, atau tidak lagi memenuhi syarat. Namun, yang menjadi dambaan adalah graduasi mandiri: keluarga yang secara sadar menyatakan diri siap keluar karena merasa telah cukup kuat berdiri sendiri.

Jalan Penuh Liku

Kenyataan di lapangan menunjukkan dinamika yang beragam. Di satu sisi, ada cerita keluarga yang dengan bangga berkata, “Kami tidak lagi butuh bantuan.” Mereka biasanya sudah punya penghasilan tetap, anak-anak telah menyelesaikan pendidikan, dan kondisi rumah tangga relatif stabil. Mereka menjadi bukti nyata bahwa perubahan bisa terjadi.

Namun di sisi lain, ada pula yang merasa dikeluarkan, bukan bergraduasi. Validasi data yang terburu-buru, minim komunikasi, atau pendekatan yang tidak partisipatif kerap membuat keluarga merasa disisihkan. Belum lagi soal stigma, keluar dari PKH sering dianggap kehilangan hak, bukan lompatan maju.

Graduasi semestinya tidak membuat keluarga merasa ditinggalkan, tetapi sebaliknya menjadi momentum untuk naik kelas. Untuk itu, dibutuhkan strategi yang lebih kolaboratif, manusiawi, dan berkelanjutan.

Menuju Graduasi yang Bermartabat

Graduasi yang ideal tidak terjadi begitu saja, diperlukan ekosistem pendukung yang kuat. Beberapa pendekatan yang kini mulai ditempuh di berbagai daerah menunjukkan arah yang menggembirakan

Integrasi dengan Program Pemberdayaan Ekonomi

Pendamping sosial mulai menggandeng dinas koperasi, UMKM, hingga lembaga keuangan mikro. Tujuannya sederhana: agar keluarga tak hanya berhenti di bantuan, tapi bisa melangkah ke pelatihan, akses modal, dan kewirausahaan.

Pembaruan Data Sosial yang Valid dan Partisipatif

Graduasi bukan sekadar penghapusan nama dari daftar. Ia harus dibarengi dengan pembaruan data berbasis realitas, bukan hanya angka di sistem. Ini penting demi menjaga keadilan dan transparansi.

Penguatan Literasi Keuangan dan Sosial

Edukasi keluarga dilakukan secara terus-menerus. Pendamping mengajak warga merencanakan masa depan, menata keuangan, dan membangun jejaring sosial. Keluarga diajak untuk tidak hanya menjadi penerima, tapi juga pemilik visi hidupnya sendiri.

Model Rujukan Antar-Program

Graduasi tidak berarti kehilangan semua akses. Sebaliknya, keluarga yang lulus bisa dirujuk ke program lain yang lebih relevan: Kartu Prakerja, pelatihan keterampilan, atau akses ke perbankan formal.

PKH bukan sekadar skema bantuan akan tetapi jembatan yang suatu saat harus dilewati dan ditinggalkan. Graduasi bukanlah akhir, tapi awal baru menuju kehidupan yang lebih mandiri. Di sinilah pentingnya peran semua pihak: dari pemerintah pusat hingga desa, dari pendamping sosial hingga masyarakat sipil, dari kebijakan hingga hati nurani.

Pada akhirnya, keberhasilan sebuah program sosial tidak diukur dari berapa banyak yang menerima, tetapi seberapa banyak yang mampu keluar dari ketergantungan. Dan ketika suatu keluarga bisa berkata, “Kami pernah dibantu, kini kami siap memberi,” di situlah kita tahu: program ini telah menyentuh inti dari pembangunan yang sejati yaitu memanusiakan manusia.

*) Didik Purwanto, S.Pd.I, M.Pd merupakan Pendamping PKH Bondowoso

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini PKH Didik Purwanto