Beberapa waktu terakhir, perhatian publik tertuju pada penempatan seorang perwira tinggi Polri aktif sebagai Sekretaris Jenderal (Setjen) Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Fenomena ini menuai perdebatan karena berpotensi bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi.
Penempatan perwira kepolisian aktif dalam jabatan sipil strategis seperti Sekjen DPD RI tidak hanya menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas dan dasar hukum pengangkatan tersebut, melainkan juga menimbulkan kekhawatiran akan tumpang tindih kewenangan sipil dan militer/polisi dalam ranah sipil.
Dalam konteks ini, penting untuk menelaah secara kritis ketentuan peraturan perundang-undangan yang relevan, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Apakah secara hukum diperbolehkan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif menduduki jabatan sipil seperti Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia?
Pasal 19 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN. Namun, ayat (2) dari pasal yang sama memberikan pengecualian secara eksplisit, yaitu bahwa “Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Ketentuan ini menjadi dasar yuridis utama yang membuka ruang bagi anggota TNI dan Polri aktif untuk menduduki jabatan ASN tertentu, sepanjang jabatan tersebut berada pada lingkup instansi pusat.
DPD RI sebagai lembaga legislatif nasional termasuk dalam kategori instansi pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 UU ASN. Dengan demikian, jabatan Sekretaris Jenderal DPD RI sebagai bagian dari struktur kesekretariatan lembaga negara pusat memenuhi syarat kelembagaan untuk dapat diisi oleh anggota Polri aktif sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU ASN.
Lebih lanjut, dalam Pasal 20 UU ASN ditegaskan bahwa Pegawai ASN juga dapat menduduki jabatan di lingkungan Polri dan TNI sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ketentuan ini menunjukkan adanya fleksibilitas dua arah antara ASN dan aparat pertahanan-keamanan dalam pengisian jabatan-jabatan tertentu, sepanjang masih dalam koridor sistem merit dan profesionalisme birokrasi.
Kemudian, ketentuan teknis pelaksanaan lebih lanjut terhadap pengisian jabatan ASN oleh anggota Polri diatur dalam Pasal 147 PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, yang menyatakan “Pengisian Jabatan ASN tertentu yang dapat diduduki oleh prajurit TNI dan anggota Polri dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan kebutuhan instansi pemerintah.”
Ini menegaskan bahwa selama tidak ada larangan eksplisit dan jabatan tersebut termasuk dalam jabatan ASN tertentu yang dibutuhkan oleh instansi pemerintah pusat, maka anggota Polri aktif dapat diangkat dalam jabatan ASN tersebut. Terlebih, jika penempatan itu dilakukan dengan mekanisme administratif yang sah dan mendapat pengesahan dari Presiden sebagaimana lazim untuk jabatan pimpinan tinggi madya.
Selain itu, dalam konteks penempatan anggota Polri ke luar institusi, Pasal 28 ayat (3) UU Polri menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian dan memperoleh persetujuan dari Presiden.” Meski sepintas pasal ini tampak membatasi, perlu dilakukan penafsiran sistemik dan tidak semata-mata tekstual.
Penempatan anggota Polri dalam jabatan sipil yang dilakukan atas dasar perintah langsung Presiden melalui Keputusan Presiden menunjukkan bahwa proses tersebut telah melalui mekanisme persetujuan sebagaimana disyaratkan oleh UU Polri. Di sisi lain, keberadaan Pasal 19 ayat (2) UU ASN juga tidak mensyaratkan pengunduran diri atau pensiun dari anggota TNI atau Polri untuk menduduki jabatan ASN tertentu.
Ketentuan ini lebih bersifat afirmatif, membuka peluang mobilitas jabatan lintas sektor dengan pengaturan lebih lanjut pada level teknis oleh peraturan pemerintah. Oleh karena itu, selama belum ada peraturan pelaksana yang secara khusus membatasi jabatan tertentu, maka pasal tersebut tetap berlaku sebagai norma umum yang memberikan dasar hukum bagi penempatan anggota TNI dan Polri di jabatan ASN tertentu di instansi pusat.
Lebih jauh, jabatan Sekretaris Jenderal DPD RI merupakan jabatan pimpinan tinggi madya yang pengisiannya dilakukan melalui proses seleksi terbuka berdasarkan sistem merit. Sepanjang calon yang diajukan memenuhi syarat kompetensi dan integritas, serta diproses sesuai prosedur administratif yang berlaku, maka status keanggotaan aktif sebagai anggota Polri tidak serta merta menjadi penghalang yuridis.
Apalagi jika proses tersebut telah memperoleh legalisasi formal melalui keputusan presiden, maka aspek legalitasnya telah terpenuhi. Kekhawatiran yang muncul dari sebagian pihak sering kali terkait dengan potensi terganggunya netralitas birokrasi atau munculnya konflik kepentingan institusional.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Polri sejak reformasi 1999 telah ditetapkan sebagai institusi sipil bersenjata dan bukan bagian dari militer. Oleh karena itu, penempatan anggota Polri dalam jabatan sipil bukan merupakan bentuk militerisasi lembaga sipil, melainkan refleksi dari keterbukaan sistem manajemen ASN terhadap kompetensi dari luar lingkungan ASN murni.
Dari sisi prinsip netralitas, UU ASN memang menegaskan bahwa ASN harus bebas dari intervensi partai politik atau kekuatan eksternal yang mempengaruhi objektivitas kinerjanya. Namun, anggota Polri justru secara institusional memiliki prinsip netralitas politik yang kuat karena dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.
Oleh karena itu, argumentasi bahwa keberadaan anggota Polri aktif dalam jabatan Setjen DPD RI akan mengganggu netralitas birokrasi kurang berdasar, selama yang bersangkutan tidak menjalankan tugas-tugas politik legislatif substantif dan hanya terbatas pada tugas administrasi kelembagaan.
Secara etik dan tata kelola pemerintahan, pengangkatan jabatan tinggi madya harus dilakukan secara akuntabel dan transparan. Dalam kasus penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan Sekretaris Jenderal DPD RI, fakta bahwa prosesnya dilakukan melalui Keputusan Presiden berdasarkan usulan lembaga terkait, serta melalui mekanisme seleksi jabatan pimpinan tinggi, menunjukkan bahwa prosedur administratif telah diikuti dengan benar.
Ini menjadi indikator kuat bahwa kebijakan tersebut bukan bersifat ad hoc atau politis, melainkan bagian dari kebijakan kepegawaian negara yang sah dan konstitusional. Sistem kepegawaian modern di berbagai negara demokratis juga memungkinkan mobilitas lintas lembaga selama didasari pada kompetensi, integritas, dan proses hukum yang transparan.
Dalam konteks Indonesia, hal ini justru dapat menjadi praktik baik dari reformasi birokrasi yang memungkinkan adanya sirkulasi elite administrasi lintas institusi dengan tetap menjaga batasan formalnya.
Penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan Sekretaris Jenderal DPD RI bukan merupakan pelanggaran hukum, melainkan langkah yang diperbolehkan dalam kerangka regulasi yang ada. Ketentuan dalam UU ASN telah membuka peluang tersebut, sementara persetujuan Presiden melalui Keputusan Presiden menegaskan aspek legalitas administratifnya.
Oleh karena itu, selama penempatan ini dilandasi oleh kepatuhan terhadap prinsip meritokrasi, kompetensi, dan prosedur hukum yang berlaku, maka praktik ini dapat dianggap sah dan konstitusional.
*) Afan Ari Kartika merupakan Ketua Umum Cendikia Muda Nusantara/Ketua Bidang Pertahanan dan Keamanan DPP KNPI
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakanidentitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)