KETIK, BLITAR – Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blitar menggelar Forum Reboan dengan tema “Bagaimana Peran APH dalam Pengawasan Eksploitasi Tambang di Blitar?” pada Rabu (29/1/2025) malam.
Diskusi yang berlangsung di Sekretariat PC PMII Blitar itu dihadiri puluhan kader dari berbagai kampus di Blitar Raya.
Ketua PC PMII Blitar, Muhammad Thoha Ma’ruf, memimpin jalannya diskusi. Ia menegaskan bahwa eksploitasi tambang pasir dan batu (sirtu) di Blitar telah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat.
Menurut Thoha, Blitar memiliki sejumlah sungai yang menjadi jalur aliran lahar Gunung Kelud, seperti Kali Putih dan Kali Bladak. Namun, pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali justru lebih banyak membawa kerugian dibandingkan manfaat bagi masyarakat setempat.
“Pemanfaatan yang asal-asalan ini lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaatnya. Banyak lahan yang rusak, sawah petani terancam, jalanan hancur, dan udara menjadi penuh debu akibat aktivitas tambang yang tidak terkendali,” ujar Thoha.
Ia juga menyoroti sejumlah insiden yang terjadi di lokasi tambang, termasuk kecelakaan yang merenggut nyawa pekerja. Hal ini, menurutnya, menjadi bukti bahwa kurangnya pengawasan bisa berakibat fatal bagi keselamatan manusia.
“Beberapa waktu lalu, ada orang yang meninggal di lokasi pertambangan. Kalau ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan akan ada korban lagi,” tegasnya.
Dalam forum tersebut, PMII Blitar mendesak aparat penegak hukum (APH) untuk lebih tegas dalam mengawasi dan menertibkan aktivitas tambang ilegal. Mereka meminta agar patroli dan inspeksi dilakukan secara berkala di kawasan wilayah lahar (KWL) demi mencegah dampak yang lebih luas.
“Kami menuntut APH untuk segera bertindak. Jika aktivitas tambang yang menyalahi aturan masih terus berjalan, maka itu tanda bahwa mereka gagal menjalankan tugasnya. Lebih baik mundur saja daripada tidak bisa menegakkan aturan,” kata Thoha dengan nada tegas.
Selain itu, PMII Blitar juga menyoroti kepemilikan tambang yang didominasi oleh perusahaan luar daerah. Menurut mereka, keuntungan justru dinikmati oleh pihak luar, sementara masyarakat Blitar harus menanggung dampak negatifnya.
“Setelah kami telusuri, banyak tambang yang dikelola perusahaan dari luar Blitar. Mereka yang dapat untung, sementara masyarakat lokal yang harus menanggung jalan rusak, debu, dan dampak buruk lainnya,” ungkap Thoha.
Sebagai solusi, PMII Blitar menyarankan agar aktivitas tambang lebih diarahkan pada metode manual yang minim dampak lingkungan, dibandingkan penggunaan alat berat seperti ekskavator yang cenderung merusak ekosistem sekitar.
“Pertambangan dengan alat manual lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan ekskavator yang mengeruk tanah secara besar-besaran. Jika tambang tetap ada, maka harus ada regulasi yang benar-benar berpihak pada kesejahteraan masyarakat sekitar,” jelasnya.
Dengan adanya forum ini, PMII Blitar berharap APH dapat segera bertindak tegas terhadap tambang ilegal dan memastikan keberlanjutan lingkungan serta keselamatan masyarakat Blitar tetap terjaga. (*)