KETIK, SURABAYA – Pemerintah Kota Surabaya telah memiliki peraturan yang mengatur penjualan minuman beralkohol, seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Kepariwisataan, implementasi dan pengawasan terhadap penjualan minuman beralkohol di Surabaya masih menghadapi berbagai tantangan.
Salah satu isu utama adalah penjualan minuman beralkohol secara online yang belum diatur secara spesifik dalam regulasi yang ada.
Hal tersebut mendorong BEM Fakultas Hukum Unitomo bersama PMII Perjuangan Unitomo menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Alcoholic: Teguk Problematik, Selasa 18 Februari 2025.
Ketua PK PMII Unitomo, Noval Aqimuddin, menyoroti lemahnya pengawasan terhadap penjualan miras secara online. Menurutnya, tidak ada mekanisme jelas yang memastikan batasan usia pembeli di platform online.
"Penjualan offline masih bisa diawasi karena pembelinya terlihat. Tapi di online, siapa saja bisa membeli tanpa batasan yang ketat," ujarnya.
Ketua PK PMII Unitomo, Noval Aqimuddin. (Foto: Shinta Miranda/Ketik.co.id)
Noval juga menyoroti perbedaan kebijakan antarplatform dalam membatasi usia pembeli. Ia mencontohkan aplikasi Alfa Gift yang sudah menerapkan sistem verifikasi ketat untuk pembelian rokok.
"Kenapa platform lain tidak menerapkan sistem serupa? Seharusnya ada mekanisme yang lebih kuat," tambahnya.
Mahasiswa Unitomo berencana mendorong rekomendasi regulasi ke pihak terkait, baik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) maupun legislatif.
"Kalau harus ke Kominfo, kami akan ajukan ke sana. Kalau harus ke DPRD atau DPR, kami akan mendorong regulasi yang lebih ketat," tegas Noval.
Senada dengan itu, Ketua BEM Fakultas Hukum Unitomo, Humaira, menegaskan bahwa rekomendasi dari diskusi ini akan difokuskan pada penguatan aturan peredaran miras daring.
"Kita ingin ada regulasi yang lebih jelas, apakah itu revisi perda, perwali, atau aturan baru. Yang pasti, celah kebebasan penjualan miras online harus ditutup," katanya.
Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono. (Foto: Shinta Miranda/Ketik.co.id)
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Surabaya, Budi Leksono, menilai permasalahan ini perlu diantisipasi lebih serius. Ia mengingatkan bahwa aturan mengenai peredaran mihol sudah ada dalam Perda dan Perwali, namun pengawasan di ranah online masih lemah.
"Aturannya sudah ada, tapi faktanya masih kecolongan. Apalagi menjelang Ramadan, penegakan aturan harus lebih tegas tanpa tebang pilih," katanya.
Budi juga menyoroti posisi Surabaya sebagai kota perdagangan dan jasa terbesar di Indonesia. Menurutnya, aspek perizinan dalam bisnis hiburan dan penjualan mihol memang telah diatur, tetapi batasan regulasinya perlu diperkuat agar tidak disalahgunakan.
"Kita harus melindungi generasi muda. Secara aturan, pembeli mihol minimal berusia 21 tahun, tapi kenyataannya masih banyak yang di bawah itu," pungkasnya. (*)