KETIK, SURABAYA – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump beberapa waktu lalu telah mengumumkan pungutan pajak impor ke sejumlah negara, salah satunya Indonesia sebesar 35 persen.
Kenaikan pajak impor dari Amerika Serikat (AS) ini tentu berimbas pada roda perekonomian.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur (Jatim), Adik Dwi Putranto membeberkan lima dampaknya.
1. Penurunan Ekspor
Dampak pertama menurut Adik yang dirasakan adalah turunnya ekspor ke AS.
Terlebih, menurut Adik, Jawa Timur banyak mengekspor barang-barang non-migas.
"Produk utama Jawa Timur yang diekspor ke Amerika Serikat, seperti perhiasan, produk logam, tekstil, alas kaki, elektronik, kayu, dan barang dari kayu," jelasnya.
Angka ekspor non-migas dari Jatim ke AS mencapai $281,96 juta dengan jumlah persentase sebesar 14,50 persen.
2. Gangguan Rantai Pasok
Selanjutnya, Adik menjelaskan tarif impor 35 persen yang diberlakukan Presiden Trump berdampak pada gangguan rantai pasok, seperti supplier bahan baku lokal dan UMKM.
"Ini berdampak pada arus kas perusahaan, menunda investasi, dan menimbulkan efek lanjutan terhadap seluruh ekosistem industri di Jawa Timur," katanya.
3. Ancaman PHK dan Pengangguran
Industri padat karya di Jawa Timur berpotensi melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat turunnya produksi.
"Ribuan tenaga kerja berisiko kehilangan pekerjaan, terutama sektor garmen, sepatu, dan elektronik," ujar pria berkacamata ini.
Produk-produk tersebut, katanya selalu berorientasi ekspor ke Amerika Serikat.
4. Pendapatan Turun
Faktor lainnya imbas dari impor 35 persen yang diberikan Amerika Serikat ke Indonesia adalah turunnya pendapatan.
"Dengan berkurangnya kegiatan ekspor dan produksi industri, pendapatan daerah dari pajak dan retribusi juga ikut turun," katanya.
Hal ini akan berdampak luas ke sektor jasa, transportasi, dan logistik, serta memperlemah daya beli masyarakat.
"Demikian juga dengan pertumbuhan ekonomi yang akan mengarah ke penurunan atau stagnan," jelasnya.
5. Dampak Sosial
PHK massal dapat memicu lonjakan kemiskinan, putus sekolah, hingga kerawanan sosial dan ketegangan sosial.
"Seperti demonstrasi pekerja dan instabilitas kawasan industri menjadi risiko nyata," tutupnya. (*)