Arrazi, Bocah Yatim Umur 9 Tahun di Blitar Pejuang Leukemia

29 April 2025 14:28 29 Apr 2025 14:28

Thumbnail Arrazi, Bocah Yatim Umur 9 Tahun di Blitar Pejuang Leukemia
Muhammad Arka Fatih Arrazi, penderita leukimia, Selasa 29 April 2025. (Foto: Favan/ketik.co.id)

KETIK, BLITAR – Di sebuah rumah sederhana di Dusun Jagoan, Desa Ponggok, Blitar, senyum seorang anak kecil masih sempat merekah di tengah derita penyakit berat yang tengah menggerogoti tubuhnya.

Namanya Muhammad Arka Fatih Arrazi, atau akrab disapa Arrazi. Di usianya yang baru menginjak sembilan tahun, ia telah memikul beban yang jauh lebih berat dari kebanyakan anak seusianya, berjuang melawan leukemia.

Arrazi adalah anak yatim. Ayahnya meninggal dunia ketika ia baru berusia dua tahun, akibat tumor otak. Sejak saat itu, ibunya, Yuliana Indah Lestari, menjadi satu-satunya tumpuan hidupnya.

Dengan penghasilan yang tak menentu dan keterbatasan ekonomi yang mencekik, Yuliana tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya.

“Kami kira awalnya cuma demam biasa, karena habis imunisasi. Tapi kok tidak turun-turun juga. Badannya lemas, cepat lelah. Saya mulai khawatir,” tutur Yuliana, matanya sembab, mengenang awal mula kondisi Arrazi memburuk pada pertengahan 2024.

Setelah serangkaian pemeriksaan, ia divonis menderita leukemia. Sejak Desember 2024, Arrazi harus rutin menjalani kemoterapi di RSUD Saiful Anwar Malang, rumah sakit rujukan provinsi.

Perjalanan dari Blitar ke Malang bukan hal yang mudah, apalagi bagi anak kecil yang tubuhnya rapuh karena kemoterapi. Namun lebih dari sekadar kelelahan fisik, perjuangan mereka digempur oleh beban finansial.

“Saya pakai BPJS mandiri kelas 3, bayarnya sendiri. Tapi tetap saja, banyak biaya yang tidak tertutup. Ongkos ke Malang, makan, kebutuhan selama rawat inap, semua saya tanggung sendiri,” ujar Yuliana, menghela napas panjang.

Situasi ini menarik perhatian Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kabupaten Blitar. Ketua DKR, Arif Witanto, menyebut kondisi Arrazi sebagai potret kegagalan sistem perlindungan sosial di Indonesia.

“Arrazi ini simbol. Bukan hanya tentang seorang anak yang sakit, tapi tentang bagaimana negara absen ketika rakyat kecil paling membutuhkannya,” tegas Arif saat ditemui di Blitar.

Menurut Arif, ada tiga hal mendesak yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, menggratiskan transportasi bagi pasien rawat jalan seperti Arrazi yang harus bolak-balik Blitar-Malang.

Kedua, menjamin kualitas layanan kesehatan yang manusiawi dan ramah anak. Ketiga, mengalihkan status BPJS Arrazi dari mandiri ke PBI (Penerima Bantuan Iuran), sehingga keluarga tidak lagi dibebani iuran bulanan.

“Kalau anak sekecil Arrazi saja masih harus menanggung iuran BPJS saat sakit parah, itu tanda tanya besar. Ini soal nyawa. Negara tidak boleh ragu turun tangan,” serunya.

DKR juga mendesak pemerintah daerah, khususnya Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Kabupaten Blitar, untuk segera membentuk tim lintas sektor guna memberi bantuan langsung. Bantuan tersebut mencakup biaya transportasi, kebutuhan nutrisi, hingga pendampingan psikososial.

Di tengah situasi pelik ini, Arif pun mengajak masyarakat untuk tidak menunggu langkah lambat pemerintah.

“Kita tidak bisa hanya menonton. Ini waktunya gotong royong, saling bantu. Solidaritas rakyat adalah kekuatan terakhir ketika negara belum cukup tanggap,” ujarnya.

Kini, Arrazi masih berjuang menjalani kemoterapi dengan tubuh yang semakin ringkih, namun semangat yang tetap menyala. Ia masih bermimpi untuk sembuh, untuk kembali bermain, untuk kembali menjadi anak kecil seperti dulu. Namun harapan itu tak akan terwujud tanpa uluran tangan banyak pihak.

Bagi Arrazi, setiap perjalanan ke rumah sakit bukan hanya perjalanan medis, tapi juga perjalanan menuju harapan. Dan seperti yang disampaikan Arif Witanto, harapan itu membutuhkan lebih dari sekadar simpati.

“Anak ini butuh kepastian, bukan belas kasihan. Butuh sistem yang berpihak, bukan janji kosong,” pungkasnya.(*)

Tombol Google News

Tags:

Blitar Kota Blitar Arrazi Leukimia Pemerintah Yatim