Branding Banda Aceh Kota Parfum Dinilai Hanya Gimmick dan Pencitraan Politik

25 Mei 2025 07:30 25 Mei 2025 07:30

Thumbnail Branding Banda Aceh Kota Parfum Dinilai Hanya Gimmick dan Pencitraan Politik
Mohammad Nur, Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina). (Zaelani Bako/Ketik.co.id)

KETIK, ACEH SINGKIL – Gagasan menjadikan Banda Aceh sebagai “Kota Parfum” yang diluncurkan Wali Kota Illiza Saaduddin Djamal dipertanyakan beberapa pihak. Branding tersebut tampak terburu-buru, tidak berbasis pada kajian mendalam dan cenderung dipaksakan tanpa melibatkan masyarakat sebagai subjek utama pembangunan kota.

“Ini bukan kehendak warga, melainkan kehendak elit. Seharusnya wacana seperti ini tumbuh dari bawah, bukan sekadar ambisi personal pemimpin,” tegas Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Muhammad Nur, Minggu 25 Mei 2025

Lanjut Muhammad Nur, peluncuran program “Road to Launching Banda Aceh Kota Parfum” pada 23 Mei 2025 menjadi penanda dimulainya narasi baru yang berisiko mengaburkan identitas otentik kota. 

"Namun, publik layak bertanya, apa modal kuat Banda Aceh sehingga layak menyandang predikat kota parfum?" tambah Nur, penuh tanya.

Hingga hari ini, hanya dua usaha kecil yang dikenal memproduksi parfum lokal di Aceh, yakni Minyeuk Pret dan Neelam (Universitas Syiah Kuala). Keduanya belum mencapai skala produksi industri atau ekspor, dan ekosistem nilam yang menjadi bahan baku utama parfum juga belum dikelola secara profesional dan terintegrasi.

“Apakah masyarakat, petani nilam, pelaku UMKM, akademisi, dan pelaku pasar telah dilibatkan dalam visi besar ini? Atau ini sekadar proyek simbolik untuk membangun pencitraan selama masa jabatan?” tambah Muhammad Nur.

Bagi Muhammad Nur, branding kota bukan sekadar slogan. Ia harus tumbuh dari fakta sosial, budaya, dan ekonomi yang nyata. Apalagi Banda Aceh sebelumnya pernah dibranding sebagai “Kota Madani” oleh Illiza pada masa jabatan sebelumnya, namun branding itu pun kini nyaris hilang tanpa jejak.

“Jangan sampai ‘Kota Parfum’ hanya menjadi warisan gimmick yang menguap bersama berakhirnya masa jabatan wali kota,” kritiknya.

Menurutnya, ketimbang membangun branding baru yang belum siap dari sisi ekosistem, pemerintah kota seharusnya fokus mendukung pelaku UMKM lokal agar naik kelas dan mampu menembus pasar nasional dan global.

“Potensi nilam memang ada di Aceh, tapi belum cukup bila budidaya, penyulingan, hilirisasi, hingga pasar ekspor belum disiapkan. Branding kota tidak boleh dibangun dari angan-angan, tapi dari akar kekuatan ekonomi rakyat,” tutup Muhammad Nur.(*) 

Tombol Google News

Tags:

Branding kota Parfum Banda Aceh Forbina cenderung dipaksakan Aceh 2025