KETIK, MALANG – Dua kasus pelecehan seksual menjadi sorotan di Kota Malang. Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma), Arfan Kaimudin, menyoroti tantangan pembuktian kasus serupa dalam persidangan.
Arfan menjelaskan bahwa pelecehan seksual memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan tindak pidana lainnya. Korban sering kali berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena harus menghadapi stigma sosial dan keterbatasan bukti, sehingga pernyataan mereka kerap diragukan oleh masyarakat.
"Untuk pembuktian minimal menggunakan 2 alat bukti. Kasus pelecehan seksual agak sulit mencari saksi karena pelecehan biasanya terjadi pada tempat yang tidak ramai dan korban bisa sekaligus jadi saksi korban," ujarnya, Kamis 24 April 2025.
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyatakan bahwa keterangan saksi dan/atau korban pada tahap penyidikan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Termasuk pula bukti surat, seperti keterangan psikologis, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, hingga data transaksi rekening bank
"Apa yang memperkuat pembuktiannya nanti ada visum bahwa benar ada pelecehan seksual tersebut. Bisa visum psikis, dia terguncang atau tidak, bisa dijadikan bukti di persidangan nanti. Mengingat luasnya ruang lingkup pelecehan seksual," terangnya.
Visum psikis juga untuk memperkuat potensi lemahnya hasil visum fisik, terutama dalam kasus pelecehan seksual yang tidak melibatkan hubungan badan secara langsung dan tidak meninggalkan bekas luka di tubuh korban.
Termasuk dalam kasus pelecehan seksual dimana anggota tubuh korban didokumentasikan tanpa persetujuan. Visum fisik seringkali tidak dapat menunjukkan bukti yang kuat. Namun, pemeriksaan psikologis bisa mengungkap adanya gangguan mental atau trauma akibat kejadian tersebut.
"Dalam visum psikis tentu bentuknya adalah perlindungan terhadap korban, sehingga tidak mengganggu asas praduga tidak bersalah. Asas itu kan selama dia belum mendapat putusan oleh hakim, dia tak bisa dinyatakan bersalah," tegasnya.
Selain itu, korban yang kesulitan mendapatkan bukti fisik juga telah mendapatkan dukungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Terdapat regulasi untuk memastikan bahwa korban merasa aman dan tidak terancam dalam proses hukum.
"Itu sudah ada lembaga sendiri. Ada LPSK, sehingga dalam prosesnya dapat memberikan protect sesuai yang tertuang dalam regulasi. Penting juga memberikan pendampingan secara khusus untuk memperkuat mental dia. Jadi saat pembuktian, tidak takut dan bisa speak up," tutupnya.(*)