KETIK, MALANG – Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (Unisma), Dr Arfan Kaimuddin mengkritik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Beberapa pasal dinilai dapat mengganggu integritas peradilan pidana di Indonesia.
Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP menjelaskan bahwa masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan jika dalam 14 hari tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian. Menurutnya kebijakan ini berpotensi menciptakan dualisme kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan.
Menurutnya jika laporan masyarakat ditindaklanjuti oleh jaksa tanpa melalui penyidikan polisi, maka dapat memicu ketidakharmonisan proses hukum. Terlebih dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP telah mengatakan bahwa kewenangan penyidikan, integral dengan sistem peradilan pidana.
"Pembagian kewenangan antara penyidik dan jaksa penuntut umum didasarkan pada asas specialty dan separation of powers. Setiap lembaga memiliki peran dan fungsi yang spesifik untuk menjaga akuntabilitas serta mencegah intervensi," ujarnya, Senin 27 Januari 2025.
Dalam pasal tersebut juga berpotensi negatif atas asas due process of law yang mewajibkan tidakan pemerintah haruslah berdasarkan peratusan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Menurutnya penyidikan menjadi tahap awal yang harus dilakukan dengan prosedur ketat dalam hukum pidana.
"Jika penuntut umum langsung terlibat dalam proses penyidikan, hak-hak tersangka bisa terancam karena proses hukum yang ideal mengharuskan adanya pembagian kewenangan yang jelas," ujarnya.
Sementara itu dalam Pasal 111 Ayat 2 RUU KUHAP juga menunjukkan tumpang tindih kewenangan Jaksa dan Kepolisian. Dalam hal ini Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan. Hal tersebut seharusnya menjadi ranah dari kepolisian.
"Ini melanggar prinsip peradilan yang adil dan imparsial. Jaksa dan polisi adalah bagian dari rantai penegakan hukum yang harus bekerja secara kolaboratif, bukan saling menilai atau mengintervensi. Ketentuan ini berpotensi menciptakan konflik kepentingan yang serius," tegasnya.
Berlanjut dengan perluasan wewenang Kejaksaan dalam UU nomor 16 tahun 2004 dan UU nomor 11 tahun 2021. Jaksa diberikan kewenangan dalam fungsi intelijen kejaksaan. Padahal sudah ada institusi lain seperti Kepolisian, TNI, dan BIN, sehingga dapat mengaburkan fungsi utama sebagai penegak hukum.
"Pendekatan dalam sistem peradilan pidana dititik beratkan pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, bukan justru memberikan ruang yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara aparat penegak hukum," tutupnya. (*)
Dekan FH Unisma Sebut RUU KUHAP Memicu Dualisme Kewenangan Jaksa dan Polisi
Jurnalis: Lutfia Indah
Editor: Aziz Mahrizal
27 Januari 2025 15:13 27 Jan 2025 15:13