KETIK, JAKARTA – Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Kesehatan.
PP ini menjadi turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ada sejumlah pasal dalam PP yang dianggap kontroversial dan menimbulkan polemik di masyarakat. Salah satunya, Pasal 103 tentang upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja yang menyediakan alat kontrasepsi.
Dalam Pasal 103 Ayat (4) butir e itu tertulis penyediaan alat kontrasepsi. Karena klausul ini masyarakat beranggapan bahwa pemerintah melegalkan hubungan seksual bebas di kalangan anak usia sekolah dan remaja.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto memberi catatan atas materi pasal PP tersebut karena kurangnya pelibatan publik ketika pemerintah menyusunnya.
"Disayangkan kalau dalam menyusun PP ini keterlibatan publik kurang. Kalau Komisi IX sudah seringkali rapat tapi dalam konteks menyusun PP ini sudah wewenangnya pemerintah," ungkap Edy Wuryanto dalam diskusi Forum Legislasi di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (6/8/2024).
Dalam diskusi dengan tema 'Pemerintah Terbitkan Aturan Pelaksana UU Kesehatan, Langkah Cepat Lindungi Kesehatan Masyarakat!' itu, Edy berjanji akan terus mengkritisi PP tersebut.
Politisi PDIP itu mengatakan, meski dalam masa reses persidangan DPR RI namun pihaknya terus mengkaji PP ini. Sehingga ketika masa persidangan DPR RI dibuka pada 16 Agustus 2024 mendatang, akan langsung mendiskusikan dan Kementerian Kesehatan sebagai mitra kerja Komisi IX DPR RI.
Ada beberapa hal yang disampaikan Edy selain pasal kontroversial terkait penyediaan alat kontrasepsi dalam sistem reproduksi usia sekolah dan remaja.
Antara lain, mengenai mandatory spending yaitu kewajiban alokasi fiskal persentase anggaran yang harus dialokasikan untuk bidang kesehatan oleh pemerintah.
"Ini menjadi perdebatan yang paling alot di rapat panja (saat pembahasan UU Kesehatan antara DPR dan pemerintah). Karena pemerintah sudah nggak mau lagi anggaran itu terkotak-kotak," katanya.
Polemik lain adalah soal induk pembangunan bidang kesehatan sebagai acuan untuk anggaran berbasis kinerja. Lalu, transformasi kesehatan, program layanan kesehatan primer, layanan kesehatan rujukan, dan ketahanan kesehatan.
Edy mengakui UU Kesehatan saat ini sangat fragmented dan bertabrabakan dengan undang-undang lain. Karena bersifat Omnibus Law.
Sehingga perubahannya banyak sekali dan ketika akan diubah satu per satu pembahasannya akan lama, bahkan akan saling mengunci.
Hal lain mengenai asuransi kesehatan semua harus dalam satu pintu yaitu BPJS Kesehatan. Sehingga keberadaan asuransi kesehatan swasta menjadi masalah tersendiri. Kemudian mengenai keberadaan majelis disiplin tenaga kesehatan (nakes).
"PP baru kita amati apakah PP ini juga menempatkan instrumen profesi kesehatan itu mencapai keseimbangan baru medical conceal," sebut Edy.
Terkait ini, ia menjelaskan banyak yang bersinggungan dengan persoalan ini antara lain pencatatan kompetensi nakes, standar profesi, standar pendidikan kurikulum bahkan penelitian profesi. Juga politik pendidikan profesi sampai uji kompetensi.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto mengakui IDI sebagai lembaga resmi yang diakui pemerintah dan mewadahi profesi dokter tidak dilibatkan dalam menyusun PP ini. Ia pun menyayangkan tidak dilibatkan IDI dalam penyusunannya.
"Sayangnya memang dalam pembuatan PP ini ikatan dokter Indonesia tidak dilibatkan dalam pembuatannya. Padahal sebagian besar di situ yang melaksanakan tidak hanya IDI, PPRI, IBI yang akan melaksanakan PP tersebut dan nanti dengan turunan lagi yaitu Peraturan Menteri (Permen) kesehatan. Itu sangat disayangkan saja," tegas Slamet.
Oleh karena itu, Slamet menegaskan, ia sendiri tidak mengetahui alur proses penyusunan dan perumusan PP itu.
Padahal, selama ini DPR dan pemerintah selalu melibatkan IDI dalam pembuatan peraturan perundangan.
"Tapi kali ini kita belum dilibatkan. Nggak ada masalah selama nanti bermanfaat untuk masyarakat ke depannya," sebut Slamet.
Slamet mengungkapkan awalnya ia bersama rekan-rekan dokter di IDI sangat berharap ada keterlibatan IDI dalam memberikan masukan.
Karena mereka memegang prinsip semakin banyak yang membahas biasanya akan semakin sempurna peraturan tersebut.
Terkait ini, Slamet mengingatkan agar PP jangan sampai mengunci pemerintahan berikutnya.
"Jangan sampai PP ini akan mengunci pemerintahan berikutnya. Saya tidak tahu apakah bagus atau tidak? Jangan sampai pula PP yang keluar baru beberapa hari ini nanti di saat pemerintahan baru diubah lagi. Jadinya kan mubazir," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena (Melki) mengungkapkan, dalam pembahasan UU Kesehatan dengan pemerintah, sebenarnya ada semangat agar PP UU Kesehatan yang dibuat tidak disatukan tetapi dibuat klaster-klaster.
Keinginan DPR itu, mengingat UU Kesehatan bersifat Omnibus Law yang menggabungkan sejumlah peraturan perundangan.
"Yang kita inginkan itu kalau bisa dibuat dalam bentuk klaster-klaster yang kita sudah bahas kemudian sudah selesai. Tapi dalam pelaksanaan, pemerintah nampaknya memiliki pertimbangan lain, bahwa pelaksanaanya harus dibuat dalam satu PP," kata Melki.
Politisi Partai Golkar ini mengaku dapat memahami pemerintah memang tidaklah mudah membuat PP sebagai peraturan pelaksana dan teknis yang dibuat untuk memedomani UU Kesehatan yang bersifat Omnibus Law.
"Karena ini dibuat dalam satu PP yang merangkum seluruh peraturan dan undang-undang, maka semua dibicarakan dalam mulai transformasi kesehatan, tentang informasi di bidang layanan primer, rujukan, tenaga kesehatan, juga kemandirian, obat-obatan. Kemudian terkait dengan SDM kesehatan, kemudian pembiayaan dan juga digitalisas dan lain-lain," pungkasnya. (*)