Dalam kalender bulan Januari 2025 ada yang menarik. Yaitu peringatan 27 Rajab 1446 H jatuh pada 27 Januari 2025. Sedangkan Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili jatuh pada Rabu, 29 Januari 2025. Menarik karena 27 Rajab 1446 H itu senantiasa diperingati oleh umat muslim.
Sedangkan Tahun Baru baru Imlek itu biasa diperingati kaum Tionghoa umumnya, khususnya mereka yang beragama Konghucu.
Dalam perspektif pluralisme dan toleransi, ini merupakan sebuah momentum yang indah dan luar biasa. Apalagi terjadi di Indonesia yang mayoritas muslim namun menjunjung tinggi nilai-pluralisme dan toleransi.
Isra Mikraj: Menembus Batas Spiritualitas
Isra Mikraj bagi umat muslim merupakan salah satu hari dalam kalender Hijriyah yang memiliki nilai historis dan spiritual.
Mempunyai nilai historis karena pada malam 27 Rajab 1400 tahun yang lalu, persisnya tahun 621 M, Nabi Muhammad saw diperjalankan Isra dan Mikraj oleh Allah Swt dalam waktu satu malam.
Isra yaitu perjalanan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Baitul Masdiq. Sedangkan Mikraj yaitu perjalanan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha.
Mempunyai nilai spiritual dikarenakan dalam Isra Mikraj atau tepatnya ketika Nabi Muhammad Saw dimikrajkan oleh Allah Swt, dalam Mi'raj itulah Nabi Muhammad bertemu dengan sejumlah nabi sebelumnya akhirnya berjumpa dengan Allah SWT di Sidratul Muntaha.
Menurut Syekh Syafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam bukunya Sirah Nabawiyah terbitan tahun 2012 bahwa ketika Nabi Muhammad Saw Mi'raj ke langit, Nabi Muhammad bertemu dengan 8 nabi.
Kedelapan nabi yang bertemu dengan Rasulullah saw yaitu, Nabi Adam as yang bertemu di langit lapis pertama, Nabi Yahya as dan Nabi Isa as yang bertemu di langit lapis kedua.
Nabi Yusuf as yang bertemu di langit lapis ketiga, Nabi Idris as yang bertemu di langit lapis keempat, Nabi Harun yang bertemu di langit lapis kelima, Nabi Musa yang bertemu di langit lapis keenam, Nabi Ibrahim yang bertemu di langit lapis ketujuh. Setelah itu bertemu dengan Allah Swt.
Namun yang membuat kisah Isra Mikraj ini menarik dan mempunyai kisah penuh hikmah, selain karena bertemu dengan para nabi dan diperlihatkannya tentang berbagai pelajaran yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw adalah ketika Nabi Muhammad Saw harus bolak balik menghadap Allah Swt untuk meminta keringanan agar waktu salat yang diwajibkan itu bisa berkurang untuk umatnya.
Yang menjadi inisiator dan menyarankan agar waktu salat untuk umat Nabi Muhammad berkurang adalah Nabi Musa As. Sampai akhirnya ketika waktu salat itu berkurang yang tadinya 50 waktu menjadi 5 waktu dalam sehari semalam sebagaimana yang telah dilaksanakan umat muslim saat ini.
Dalam perspektif spiritual Islam, menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr KH Nasarudin Umar yang juga Menteri Agama Republik Indonesia Isra Mikraj adalah peristiwa monumental yang membawa pesan mendalam bagi umat manusia khususnya umat Islam.
Menurut Nasarudin Umar, peristiwa Isra Mikraj adalah perjalanan suci dan bersejarah sekaligus menjadi titik balik dan momentum kebangkitan dakwah Rasulullah saw. Hal itu disampaikannya saat mengisi tausyiah peringatan Isra Mi'raj di Masjid Istiqlal, 26 Januari 2025.
Dalam pandangan Nasarudin Umar, ada tiga perjalanan penting Rasulullah saw semasa hidupnya yaitu Hijrah, Isra Mikraj, dan Haji Wada'. Hijrah dari Mekah ke Madinah merupakan momentum perubahan, Haji Wada' menandai kemenangan, dan Isra Mi'raj merupakan puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju Sang Pencipta (al-Khaliq) menuju kesempurnaan rohani (insan kamil).
Dalam konteks ini, Rasulullah saw dalam haditsnya pernah bersabda salat sebagai Mikrajnya orang mukmin. Selain itu, salat juga merupakan tiang agama.
Lebih dari itu, dalam pandangannya, salat merupakan pondasi spiritualitas dan pilar agama. Karena di dalam salat umat muslim diajarkan kedisiplinan, ketundukan, dan hubungan yang erat dengan Sang Pencipta, Allah Swt.
Kemudian, menurut Nasarudin, salat itu ditutup dengan salam. Yang mempunyai arti bahwa sebagai umat Islam harus mampu menebar kedamaian dan keselamatan. Salat mendidik tentang pentingnya keseimbangan antara hubungan seorang hamba dengan Allah SWT dan sehubungan antarsesama manusia.
Oleh sebab itu, menurut Nasarudin Umar, salat itu menguatkan pondasi spiritual dalam pembangunan umat dan bangsa. Ketika pondasinya kuat, maka nilai-nilai keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan aman tumbuh dan memberikan manfaat bagi semua.
Selain itu, masih menurut Nasarudin Umar, salat juga mengajarkan bahwa kesalehan individual harus memberikan pengaruh yang besar terhadap kesalehan sosial. Ini tentu menjadi pilar penting dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.
Menurut Nasarudin, dengan menjadikan spiritualitas sebagai landasan atau pondasi, dan salat sebagai pilarnya, insya Allah peradaban yang penuh rahmat dan berkah akan hadir.
Imlek, Pluralisme, dan Toleransi
Setelah 27 Rajab 1446 H yang jatuh pada 27 Januari 2025 yang biasa diperingati oleh umat Islam di dunia khususnya umat Islam Indonesia, selang dua hari selanjutnya giliran umat beragama Konghucu dan kaum Tionghoa keturunan merayakan Tahun Baru Imlek pada 29 Januari 2024.
Bagi umat Konghucu Indonesia dan warga keturunan Tionghoa, perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia mempunyai makna dan kesan mendalam.
Ini dikarenakan,mereka baru bisa kembali merayakan Imlek setelah reformasi tepatnya ketika almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat Presiden Republik Indonesia yang ke-4. Karena pada masa Gus Dur lah umat Konghucu dan warga keturunan Tionghoa kembali merasakan kebebasan perayaan Imlek.
Gus Dur ketika menjadi Presiden, ia mencabut aturan larangan bagi warga Tionghoa merayakan Imlek dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2006.
Keppres yang dibuat Gus Dur tersebut, secara otomatis mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China yang dikeluarkan Presiden Soeharto pada masa Orde Baru memimpin Indonesia.
Pada peraturan yang lama, warga Tionghoa di Indonesia dilarang melakukan tradisi atau kegiatan peribadatan secara mencolok dan hanya diperbolehkan di lingkungan keluarga. Aturan ini berlaku 32 tahun lamanya di era kepemimpinan Soeharto.
Namun ketika Gus Dur menjabat presiden, aturan tersebut dicabut. Sehingga tidak heran jika kemudian kaum Tionghoa bersuka cita merayakan Imlek setiap tahunnya. Bahkan Gusdur sampai dinobatkan sebagai bapaknya kaum Tionghoa sekaligus tokoh pluralisme di Indonesia.
Dalam perspektif pluralisme dan toleransi tentu apa yang dilakukan Gus Dur sudah tepat dan relevan dengan Pancasila dan ajaran Islam. Begitu pun dalam perspektif toleransi, hal itu sudah sangat tepat. Dikarenakan negara kita adalah negara yang majemuk, pluralis, dan multikultural. Sehingga, nilai-nilai toleransi harus senantiasa dijunjung tinggi.
Hanya dengan menjaga dan merawat keberagaman dalam beragama, keberagaman dalam kemanusiaan, maka bangunan negara Indonesia akan tetap terjaga.
Dalam perspektif spiritual Islam pun demikian. Melalui Isra Mikraj itulah kita diajarkan untuk senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan Allah Swt dan menjaga hubungan yang baik antarsesama manusia.
Karena bagi orang-orang yang sudah menembus batas spiritualitas, khususnya umat muslim, insyaallah bisa menjadi lebih humanis. Dikarenakan bagi orang-orang yang sudah mencapai puncak spiritualitas, ia akan menjadi manusia-manusia yang humanis.
*) Khoirul Umam Albantani merupakan jurnalis Ketik.co.id Biro Banten sekaligus founder Kum Nusantara Institute
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)