Melegakan dan mencengangkan! Melegakan karena berita tentang PHK Karyawan TVRI dan RRI batal terlaksana. Mencengangkan, karena TVRI dan RRI begitu mudah terkena isu efisiensi anggaran pemerintah.
Timbul rasa was-was dalam ekosistem media massa Indonesia. Dalam pernyataan publiknya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengkhawatirkan keputusan efisiensi ini dipastikan berdampak pada penurunan kualitas siaran atau produk jurnalistik yang dihasilkan dua media layanan publik ini karena mereka yang terkena PHK juga meliputi jurnalis dan reporter lapangan.
Padahal menurut undang-undang sebagai lembaga penyiaran publik (LPP), TVRI dan RRI adalah milik publik. Artinya, kedua Lembaga penyiaran ini didanai publik dari dana publik.
Maksudnya dana publik menjadi sumber utama dana bagi lembaga penyiaran publik. Kejadian ini perlu menjadi penyadaran, para pengelola TVRI dan RRI harus kreatif mencari dana selain dari publik.
Mengamankan TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik sejatinya merupakan amanat undang-undang. Keduanya berperan penting dalam memastikan publik memperoleh hak untuk tahu.
Hak untuk tahu merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia dan UU No. 32/2002 Tentang Penyiaran menyebutkan Lembaga Penyiaran Publik seperti RRI dan TVRI harus independen, netral, tidak komersial dan berfungsi memberikan layanan pada masyarakat. RRI dan TVRI berperan memberikan informasi, pendidikan dan kontrol sosial.
Susah Menghilangkan Bayang-Bayang Pemerintah
Terdapat kelebihan lembaga penyiaran publik kita. Pertama, TVRI dan RRI memiliki jaringan di semua daerah wilayah Indonesia. Ini keuntungan bagi TVRI dan RRI karena siarannya bisa dijangkau oleh seluruh daerah wilayah di Indonesia.
Bahkan ada amanat khusus menindaklanjuti kemampuan jangkauan LPP ini dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik.
Peraturan Pemerintah ini berisi “mengingat betapa pentingnya peranan RRI, TVRI, dan lembaga Penyiaran Publik Lokal maka perlu dilakukan penyempurnaan regulasi yang memadai dalam rangka mengembangkan dan menumbuhkembangkan RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal melalui perbaikan kelembagaan untuk pengelolaan secara optimal dan profesional”.
Kedua, sebagai lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI menjadi sumber berkembangnya potensi budaya lokal di daerah. Dulu memang ada acara yang bisa disiarkan secara terpusat kemudian didistribusikan ke daerah. Tetapi sekarang, ada alokasi waktu yang disediakan bagi daerah untuk menyelenggarakan siaran lokal. Inilah yang perlu dimanfaatkan!
Pengembangan program siaran lokal ini sebagai penanda bagi tumbuh kembangnya budaya di daerah. Hal ini tidak akan kita dapatkan lewat siaran swasta, mereka menegarai konten lokal yang pasti tidak akan mendatangkan iklan atau kurang seksi. Keberadaan konten lokal ini juga sebagai kekuatan bagi lembaga penyiaran publik.
Ketiga, lembaga penyiaran publik tidak akan terpengaruh oleh anggaran pemerintah. Artinya, untuk operasional TVRI dan RRI bisa menggantungkan diri pada publik. Donasi dari perorangan atau swasta pun bisa sepanjang disampaikan secara terbuka.
Program-program sukarelawan atau fundraising bisa digalakkan untuk menjaring dana bagi lembaga penyelidikan publik. Dalam hal ini, bahkan konsep crowd funding bisa jadi pilihan, tentu saja penyelenggaraannya harus transparan dan akuntabel.
Ide fundraising dan donasi dari pihak publik bisa dijadikan alternatif penerimaan untuk LPP. Ide ini perlu diupayakan dengan desain sekreatif mungkin. Ini untuk mencegah ketergantungan TVRI dan RRI pada anggaran pemerintah yang dulu dianggap seperti segala sesuatunya untuk TVRI dan RRI. Sekarang lembaga itu menjadi lembaga penyiaran publik yang sejatinya bukan lagi milik pemerintah, tetapi sedapat mungkin diupayakan oleh publik.
Agenda ke Depan
Terdapat beberapa Langkah strategis yang bisa diambil oleh pegiat Lembaga penyiaran publik.
Kesatu, melakukan revisi UU Penyiaran tentang LPP. Penyempurnaan regulasi salah satunya berkaitan dengan LPP perlu memasukkan elemen penggalangan dana dari publik. Toh ini sejalan dengan amanat PP Nomor 17 Tahun 2024 yang telah diulas di atas.
Dua, menumbuhkan semangat kepemilikan (sense of belonging) kepada masyarakat atau publik Indonesia. TVRI dan RRI perlu mengembangkan program siaran berkualitas yang menarik perhatian publik. Kita bisa meniru keberhasilan Jepang dan Australia dalam mengembangkan LPP.
Jepang dengan NHK-nya berhasil memperkuat pengaruh di dalam negeri melalui program siaran yang popular seperti acara Chiko-chan TV NHK.
Di Australia, Australian Broadcasting Coorporation (ABC) memiliki Program Siaran Q & A yang tak kalah populer. Dalam hal ini, TVRI memiliki pengalaman indah dengan program kuis seperti Berpacu dalam Melodi yang sempat popular hingga 1990-an. Saatnya berkreasi!
Ketiga, menghilangkan ketergantungan pada APBN. Selama masih bergantung total pada APBN, sangat sulit untuk kedua LPP ini melepaskan diri dari bayang-bayang pemerintah. Sulit pula untuk menghapus citra sebagai corong propaganda rezim berkuasa. LPP perlu diberi ruang untuk memperoleh pendapatan selain dari APBN. Ide penggalangan dana dari publik bisa jadi salah satunya.
Empat, harus memperbanyak tayangan atau program siaran off air yang menumbuhkan kesukaan remaja atau anak muda Indonesia. Aspek interaktivitas ini perlu dimainkan sebagai upaya membangun engagement dengan segmen audiens yang lebih luas. Membangun loyalitas anak muda pada LPP juga berarti memperpanjang durasi jangkauan TVRI dan RRI dalam 20-40 tahun ke depan.
Namun, tantangan lain yang tak kalah penting adalah soal krisis kepercayaan public terhadap LPP, terutama dari kalangan muda. Dalam percakapan sehari-hari, TVRI dan RRI kerap diasosiasikan sebagai media tua, kaku, dan terlalu dekat dengan suara resmi pemerintah.
Citra ini merupakan hambatan serius dalam menjangkau audiens baru, apalagi di era ketika masyarakat lebih memilih media yang mereka anggap independent, progresif dan berani. Hal ini sering terjadi khususnya pada generasi digital native.
Untuk itu, rebranding LPP menjadi agenda strategis yang tak bisa ditunda. TVRI dan RRI perlu mengubah cara mereka memposisikn diri di hadapan public. Bukan lagi sebagai menara gading penyampai informasi satu arah, tetapi sebagari ruang diskusi public yang lebih terbuka, dinamis, dan responsive terhadap persoalan warga. Identitas sebagai media milik public harus benar-benar diwujudkan dalam praktik editorial dan gaya penyiaran yang membumi, inklusif dan melibatkan suara warga biasa, bukan hanya suara elit dan pemerintah.
Salah satu contoh rebranding media public yang berhasil dilakukan adalah BBC Three di Inggris. BBC Three dulunya adalah kanal televisi konvensional. Namun kemudian kanal ini bertransformasi menjadi platform digital yang menyasar anak muda dengan pendekatan konten yang segar, interaktif dan relevan secara sosial. Di kanal ini, mereka memproduksi documenter, serial, dan tayangan pendek yang menyentuh isu-isu keseharian generasi muda seperti isu kesehatan mental, identitas gender, sampai dinamika kerja di era digital.
Keberhasilan BBC Three menunjukkan bahwa media public bisa menjangkau audiens baru dengan konten yang relevan asal berani mengubah pendekatan produksi dan distribusi kontennya. TVRI dan RRI bisa mengambil pelajaran dari sana. Mulai dengan membangun kolaborasi yang menggandeng komunitas kreastif, kampus serta pegiat media alternatif. Melalui model co-creation, anak muda bisa diajak memproduksi konten berbasis lokalitas, riset sosial atau isu yang mereka anggap penting.
Praktik seperti ini tidak hanya berpeluang memperluas jangkauan audiens, namun juga dapat membangun rasa kepemilikan generasi muda terhadap lembaga penyiaran public. Program podcast interaktif, documenter berbasis komunitas, atau serial You Tube bertema warga bisa menjadi titik awal yang menjanjikan. ***
*) Yayan Sakti Suryandaru adalah Dosen Departemen Komunikasi, FISIP Unair, Surabaya
*) Rini Kartini adalah Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial Unair, Surabaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)