Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Tuban Dinilai Tinggi, Banyak Warga Miskin Tak Dapat Akses Bantuan Hukum Cuma-cuma

Jurnalis: Ahmad Istihar
Editor: Muhammad Faizin

18 Desember 2024 15:30 18 Des 2024 15:30

Thumbnail Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Tuban Dinilai Tinggi, Banyak Warga Miskin Tak Dapat Akses Bantuan Hukum Cuma-cuma Watermark Ketik
Direktur LBH KP.Ronggolawe, Nunuk Fauziyah saat memberikan penyuluhan hukum (18 Desember 2024). (Foto LBH KP Ronggolawe For Ketik.co.id)

KETIK, TUBAN – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Tuban, Jawa Timur terbilang tinggi. Sementara banyak rakyat miskin yang terkendala untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma-cuma. Kondisi itu membuat Pemkab dan DPRD Tuban didesak untuk lebih peka dalam mengatasi masalah tersebut. 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) KP Ronggolawe mencatat, sepanjang tahun 2024 sebanyak 194 kasus kekerasan terhadap perempuan,anak dan warga miskin yang tersandung hukum.

"Data tersebut diperoleh dari proses pendampingan litigasi atau non-litigasi melalui pengaduan datang ke kantor, Telepon, Whatsapp, Media sosial dan Email dari korban, keluarga dan tetangga," ungkap Direktur LBH KP.Ronggolawe, Nunuk Fauziyah dalam keterangan rilisnya pada Rabu, 18 Desember 2024.

Dari 194 kasus tersebut terdiri dari 94 kasus yang kekerasan terhadap perempuan, 48 kasus yang menimpa anak dan 52 kasus warga miskin.

"Dari data Kasus yang mendapatkan pendampingan kami, bisa jadi dilapangan atau tidak dilaporkan jumlahnya lebih besar," imbuh Nunuk. 

Menurutnya, kasus warga miskin yang berhadapan dengan hukum tidak semuanya mampu mengakses layanan hukum secara cuma-cuma.

Hal ini menyebabkan masih banyak warga miskin tidak bisa membela dirinya dan memperjuangkan nasibnya sehingga hanya pasrah menerima keputusan pengadilan.

Padahal Indonesia telah mengundangkan peraturan hukum responsif terhadap perempuan, anak dan warga miskin yakni Undang-Undang yaitu; UU PKDRT No. 23 tahun 2005, UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Anak Nomor 11 tahun 2012, UU TPPO Nomor 21 Tahun 2007, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, UU TPKS nomor 12 tahun 2022 dan UU Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum 

"Sayangnya, Pemkab Tuban belum bisa menterjemahkan subtansi dari beberapa Undang-Undang tersebut. Kenyataanya bupati tidak serius dalam memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan serta warga miskin yang berhadapan dengan hukum," tegasnya.

Untuk itu, kata Nunuk, demi memperkuat perlindungan hukum dan perangkatnya LBH KP.Ronggolawe mendesak agar DPRD Tuban, segera menetapkan tim evaluasi dan monitoring pelaksanaan perda serta anggaran perlindungan perempuan korban kekerasan. 

DPRD dan Pemkab Tuban juga diminta untuk meningkatkan alokasi dana untuk layanan dan pemulihan korban serta warga miskin yang berhadapan dengan hukum seperti operasional lembaga layanan, konseling psikologis, visum, bantuan hukum, tindakan medis lanjutan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia berperspektif korban. 

Pemkab Tuban juga perlu membangun mekanisme pencegahan, penanganan kekerasan tindak pidana kekerasan seksual dan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Keluarga (PKDRT) di lingkungan kerja yang ada di bawah DPRD dan Pemkab Tuban. 

"Kami juga mendesak bupati Tuban agar segera mengesahkan Peraturan Bupati tentang pelasanaan Perda Nomor 22 Tahun 2018, tentang Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin," ujar Nunuk. 

"Bupati dan Wakil Bupati juga harus meningkatkan keterlibatan dan kehadiran dalam mengawal pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kinerja satuan tim P2TP2A leading sector Dinas Sosial dan dinas terkait," pungkas Nunuk. (*) 

Tombol Google News

Tags:

Dinsos P3A Tuban Pemkab Tuban LBH KP Ronggolawe Kekerasan Perempuan dan Anak warga miskin HUKUM Bupati Tuban Aditya Halindra