Kedai Kopi Raluna, Keilmuan dan Kemanusiaan

Jurnalis: Ponirin
Editor: Aziz Mahrizal

12 Januari 2025 16:00 12 Jan 2025 16:00

Thumbnail Kedai Kopi Raluna, Keilmuan dan Kemanusiaan Watermark Ketik
Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community of Critical Social Research Probolinggo, Ponirin Mika. (Foto: Ketik.co.id)

Sebenarnya saya bukanlah peserta pada kajian Sirah Nabawiyah di Kedai Kopi Raluna Paiton Probolinggo. Di awali bermaksud untuk berkunjung pada teman akrab saya yang bernama Mohammad Nurcholis Muslim sang pemilik kedai tersebut. 

Ternyata malam itu (malam Selasa) ada kajian Sirah Nabawiyah bertempat di meeting room diikuti oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang yang berbeda, mulai dari seorang pengusaha, praktisi, dosen, karyawan dan mahasiswa.

Saya diajak nimbrung pada diskusi yang sedang berlangsung itu. Saya pun mengikuti dan mendengarkan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh peserta diskusi yang kala itu membahas tema perjanjian Hudaibiyah.

Selanjutnya saya bertanya berkait seputar seberapa lama kajian telah dilakukan. Nurcholis mengungkapkan bahwa diskusi tersebut sudah berjalan satu tahunan. Ia juga menegaskan adanya kajian ini merupakan salah satu wadah untuk terus menghidupkan nafas keilmuan.

"Saya sebagai kader HMI memiliki tugas besar yaitu menghidupkan nafas-nafas keilmuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW," ungkapan ini disampaikan oleh Nurcholis Muslim.

Saya sangat tertarik dengan misi kajian ini, dengan terus mengikuti dan berkumpul dengan orang-orang yang mencintai ilmu dan mencintai pribadi Rasulullah SAW.

Yang paling menarik adalah sosok nabi Muhammad yang paripurna ini terus menjadi spirit pada segala gerakan dan aktivitas para peserta kajian. Tidak ada satupun gerakan yang mereka lakukan tidak bernafaskan keislaman. 

Di sini saya menemukan bahwa ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu; Kedai Kopi, Keislaman dan Kemanusiaan. 

Pertama; kedai kopi Raluna sebagai salah satu usaha yang dihidupkan oleh Nurcholis Muslim sebagai salah satu sarana agar dapat membantu para pencari ilmu utamanya mahasiswa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Ia tidak hanya berpikir money oriented melainkan lebih kepada menghidup nilai-nilai filantropis.

Kedua; menghidupkan keilmuan Islam. Tradisi umat Islam adalah mencintai ilmu melalui diskusi. Dulu para sahabat terus menerus belajar pada Rasulullah SAW, tidak ada hari yang terlewatkan tanpa belajar ilmu. Lebih-lebih ilmu yang bersumber dari Tuhan (Wahyu). Tradisi keilmuan seperti itulah dapat menciptakan peradaban di Mekkah maupun di Madinah. Dan peradaban yang dilandasi keilmuan Islam itu berekses padan terciptanya insan akademis, pencipta dan pengabdi yang pada akhirnya terlahir masyarakat yang tidak hanya sholeh tapi musleh.

Ketiga; kemanusiaan, hal ini ditandai dengan terbangunnya komunitas baru yang bergerak pada bidang urusan Kemanusiaan. Mereka tidak bersusah payah mengejar keuntungan materi semata yang menguntungkan pada pribadi dan keluarganya. Tapi mereka juga memikirkan kesejahteraan umat.

Komitmen itu terbangun pada komunitas ini sehingga sebuah harapan cita-cita mulia itu tercipta di mulai dari Kedai Kopi Raluna.

Semboyan mereka Jika ruang-ruang kelas tidak mampu menciptakan peradaban, maka saatnya Kedai Kopi bergerak menciptakan peradaban menuju masyarakat Madani. (*)

Tombol Google News

Tags:

Kedai Keislaman Kemanusiaan Kedai Kopi Raluna