KETIK, SURABAYA – Ketua Komisi C DPRD Surabaya, Eri Irawan, menyoroti perlunya pendekatan berbasis alam dalam menangani banjir di Surabaya.
Ia menilai solusi konvensional seperti normalisasi sungai dan pembangunan saluran drainase belum cukup efektif jika tidak dibarengi dengan pelestarian lingkungan.
”Dampak perubahan iklim ibarat deret ukur alias eksponensial, sedangkan kemampuan kita membangun teknis saluran bak deret hitung, salah satunya karena situasi fiskal yang penuh tantangan," jelas Eri Irawan pada Senin 26 Mei 2025.
"Kapasitas fiskal yang penuh tantangan tidak hanya dialami Surabaya, tapi juga hampir seluruh daerah,” tegasnya.
Oleh karena itu, Eri mendorong agar ada optimalisasi solusi berbasis alam untuk mengendalikan banjir.
Pengendalian banjir tidak bisa dilakukan hanya dengan memperlancar dan mempercepar aliran air ke hilir dengan pendekatan teknis pembangunan prasarana seperti saluran dan rumah pompa.
”Kita perlu memadukan upaya membangun drainase modern seperti box culvert dengan paradigma berbasis alam. Pengembangan sistem drainase harus punya prinsip berkelanjutan. Para kepala dinas harus mampu menerjemahkan visi kota berkelanjutan yang terus digerakkan oleh wali kota,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Eri Irawan menyebut lima langkah penting memperkuat solusi berbasis alam. Pertama, mengembalikan fungsi alami sungai dan lansekap sekitarnya untuk menyelaraskan fungsi sungai sebagai satu bagian dari ekosistem yang berperan penting memitigasi banjir.
”Artinya kita tidak hanya bicara normalisasi sungai dalam skala sempit. Apa yang dilakukan Pemkot Surabaya pada saluran Kalianak maupun sempadan Kali Lamong perlu terus diperluas pada aliran-aliran sungai lainnya. Tentu dengan pendekatan humanis dan tidak merugikan warga, serta perlu diiringi langkah lanjutan memperkuat vegetasinya,” jelasnya.
Kedua, terus menambah instrumen tampungan air (reservoir) untuk pengendali banjir, seperti waduk, bozem, dan sebagainya. Termasuk membikin resapan-resapan air skala rumah tangga dengan menggalang gerakan membikin biopori.
“Kapasitas saluran kesulitan menampung curah hujan tinggi akibat cuaca ekstem, apalagi karena ada potensi hambatan seperti sampah dan sebagainya," jelasnya.
"Sehingga kita perlu tampungan air lebih banyak. Lahan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) pengembang yang sudah diserahkan ke Pemkot Surabaya bisa dimanfaatkan sebagai bozem. Aset Pemkot yang idle juga perlu secara bertahap ditingkatkan fungsinya menjadi kawasan hijau dan tangkapan air,” imbuhnya.
Ketiga, kolaborasi dengan semua daerah hulu, mengingat Surabaya adalah daerah hilir yang memiliki dataran lebih rendah. Pengelolaan lingkungan yang baik di daerah hulu, termasuk dalam hal pengelolaan air hujan, akan memastikan daerah hilir seperti Surabaya tidak terdampak signifikan.
Termasuk bila diperlukan menambah tampungan air di wilayah hulu serta memperkuat vegetasi di sekitar sungai.
”Maka kolaborasi antar-daerah yang dikoordinasikan Pemprov Jatim menjadi hal penting,” tutur Eri.
Keempat, pengendalian ruang yang ketat. Eri mengatakan, fenomena saat ini kawasan kota meluas secara acak alias urban sprawl, termasuk dengan pesatnya pertumbuhan kawasan pinggiran kota atau suburbanisasi.
Hal ini menyebabkan area yang berpotensi sebagai daerah tangkapan air berubah menjadi permukiman maupun kawasan komersial.
”Konsep compact city dengan pencampuran guna lahan yang diusung Pemkot Surabaya perlu diterapkan serius agar kita bisa mengendalikan ruang secara efektif,” jelas Eri.
Kelima, revolusi manajemen sampah. Selama ini sampah masih banyak ditemui di saluran yang menjadi penyebab potensi banjir meningkat. Hal ini harus menjadi evaluasi bersama antara pemerintah dan publik.
”Kita perlu serius menangani sampah sejak dari hulu di tingkat rumah tangga di kampung-kampung. Partisipasi publik diperlukan. Pemerintah juga harus hadir mendorong prasarana persampahan di tingkat hulu dengan memperbanyak bank sampah, TPS3R, maupun TPS terpadu,” pungkas Eri Irawan.(*)