Melihat Lebih Dekat Upacara Adat Suran Mbah Demang Banyuraden Gamping Sleman

Jurnalis: Fajar Rianto
Editor: M. Rifat

21 Juli 2024 09:43 21 Jul 2024 09:43

Thumbnail Melihat Lebih Dekat Upacara Adat Suran Mbah Demang Banyuraden Gamping Sleman Watermark Ketik
Prosesi kirab upacara adat Suran Mbah Demang disaksikan ribuan orang (20/7/2024). (Foto: Humas Pemkab Sleman/Ketik.co.id)

KETIK, YOGYAKARTA – Suran Mbah Demang merupakan salah satu upacara adat di Sleman yang selama ini banyak menarik perhatian masyarakat.

Upacara Tradisi Suran Mbah Demang dilakukan di Dusun Modinan Kalurahan Banyuraden dilaksanakan setiap bulan Suro. Tepatnya pada tanggal 7 saat tengah malam 8 Suro.

Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang perjuangan hidup Ki Demang Cokrodikromo.

Lurah Banyuraden, Gamping, Sleman, Sudarisman Sabtu malam (20/7/2024) menyampaikan, upacara adat Suran Mbah Demang tahun ini mengusung tema "Hambuka Marga Banyuraden Mandiri Budaya".

Menurutnya, upacara adat tersebut sudah ada sejak zaman dahulu. "Sejak saya masih kecil, sudah ada tradisi seperti ini," ungkapnya.

Selain untuk mengenang ketokohan Ki Demang, upacara ini juga menampilkan potensi kesenian budaya di Banyuraden.

Sejarah Ki Demang

Disebutkan oleh Sudarisman bahwa nama asli Ki Demang adalah ”Asrah” merupakan anak Bekel (pamong desa saat itu) yang nakal yang hidup di kisaran 1880-an di Demakijo (sekarang Kalurahan Banyuraden).

Karena kenakalannya, Asrah diikutkan pada Ki Demang Dawangan. Di sana ia diajak laku prihatin sampai dewasa. Alhasil Asrah menjadi orang yang sakti dan memiliki kemampuan bisa mendekteksi keberadaan sumber mata air arthesis.

Karena keberaniannya mengusir perampok Asrah dia diberi kepercayaan jadi mandor di pabrik gula Demakijo milik Belanda.

Banyaknya prestasi yang dimiliki membawa Asrah menyandang kedudukan sebagai Demang Demakijo. Sejak itulah Asrah kemudian berganti nama menjadi Demang Cokrodikromo.

Cikal Bakal Sumur Mbah Demang

Menurut cerita yang beredar, beberapa waktu kemudian terjadilah kemarau panjang. Saat itu bertepatan di bulan Asyura (Muharram) dan mengakibatkan kekeringan di wilayah Demakijo.

Nah, dengan kemampuannya, Demang Cokrodikromo akhirnya membuat sumur yang airnya tidak pernah kering hingga saat ini. Sumur tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Mbah Demang.

Foto Serah terima pusaka, kitab dan bendhe oleh Lurah Banyuraden Sudarisman (kanan) kepada perwakilan keluarga keturunan Ki Demang Cokrodikromo. (Foto: Humas Pemkab Sleman/Ketik.co.id)Serah terima pusaka, kitab dan bendhe oleh Lurah Banyuraden Sudarisman (kanan) kepada perwakilan keluarga keturunan Ki Demang Cokrodikromo. (Foto: Humas Pemkab Sleman/Ketik.co.id)

Eloknya, selain mengatasi kekeringan, air sumur tadi juga dipercaya memiliki khasiat dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat awet muda.

Dahulu beberapa hari menjelang pelaksanaan banyak pedagang gerabah dan mainan tradisional berjejer di jalan Godean seputaran rumah tabon Ki Demang Cokrodikromo.

Saat itu para pedagang ini banyak menjajakan kendi yang banyak dicari pengunjung untuk sarana "ngalap berkah" membawa pulang air dari Sumur Mbah Demang untuk berbagai keperluan.

Prosesi Upacara Adat

Adapun dalam prosesi kirab di rumah Tabon Ki Demang, dilakukan serah terima pusaka, kitab dan bendhe oleh Lurah Banyuraden kepada perwakilan keluarga dan keturunan Ki Demang Cokrodikromo.

Sudarisman menyampaikan masyarakat Kalurahan Banyuraden memandang upacara tradisi Suran Mbah Demang yang selalu dilakukan tersebut dapat membawa perubahan. "Baik dalam aspek keagamaan dan aspek sosial," ucapnya.

Sedangkan dalam aspek keagamaan, masyarakat semakin sadar akan pentingnya pengalaman nilai-nilai keagamaan. "Aktivitas keagamaan inilah yang pelan tapi pasti akhirnya mengubah pola pikir masyarakat," tambah Sudarisman.

Sementara dalam aspek sosial, kebersamaan dan saling membantu sesama semakin dapat dirasakan. Soal ini, sebut Sudarisman, dapat dilihat dalam proses pengumpulan dana yang menurutnya 'istimewa' untuk kegiatan tersebut.

"Para tokoh masyarakat, panitia, pamong desa dan masyarakat serta para tokoh seni budaya bahu membahu dalam melestarikan tradisi ini," terangnya.

Foto Lurah Banyuraden, Gamping, Sleman Sudarisman. (Foto: Fajar Rianto/Ketik.co.id)Lurah Banyuraden, Gamping, Sleman Sudarisman. (Foto: Fajar Rianto/Ketik.co.id)

Semua unsur tadi bahkan bersama-sama turut memikirkan anggarannya. Tahun ini upacara adat Suran Mbah Demang sudah diselenggarakan pada Sabtu malam (13/7/2024) lalu.

Sudarisman juga mengungkapkan, jumlah sumbangsih warga mencapai dua puluh kali lipat dari stimulan Kalurahan.

Semakin Dikenal Luas

Selain sudah dikenal masyarakat luas bahkan mancanegara, animo masyarakat setempat untuk menampilkan potensi kesenian sangat kuat, termasuk dari warga Kalurahan sekitar Banyuraden.

Namun, panitia membatasi jumlah pesertanya,  sebanyak belasan kelompok saja. Sementara satu kelompok maksimal seratus orang jumlahnya.

Sedangkan rangkaian acaranya berupa menyebar ‘udik-udik’ serta melepas merpati putih. Disusul prosesi kirab pusaka, kitab dan bendhe dengan menaiki andong yang dimulai dari halaman Kantor Kalurahan Banyuraden menuju rumah tabon Ki Demang Cokrodikromo di Modinan.

Setiap tahun ribuan orang terlibat baik secara langsung atau turut menyaksikan acara ini. Pada saat pelaksanaan dilakukan penutupan jalan dan pengalihan arus di seputaran jalan Godean Km 5, perempatan Patran - Ringroad Demakijo.

Tahun 2016 upacara tradisi Suran Mbah Demang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menjadi warisan budaya tak benda.

Sudarisman yang juga Abdi Dalem Keraton Yogyakarta ini sekaligus menegaskan, dengan nguri-nguri kebudayaan dan tradisi leluhur, ke depannya dapat menumbuhkan kesadaran generasi muda akan pentingnya melestarikan adat istiadat di Kabupaten Sleman. (*)

Tombol Google News

Tags:

Upacara Tradisi Adat Istiadat Seni Budaya Suran Mbah Demang Demang Cokrodikromo Kalurahan Banyuraden Gamping Sleman pariwisata warisan budaya Dinas Kebudayaan Sleman Pemkab Sleman