KETIK, MADIUN – Penangguhan penahanan terhadap enam tersangka kasus pengeroyokan mantan dosen Universitas Muhammadiyah Madiun (UMMAD), Dwi Rizal Hatmoko, menuai sorotan tajam.
Kuasa hukum korban, Prijono, S.H., menduga adanya intervensi dari petinggi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di Kota Madiun dalam proses hukum tersebut.
“Ya, mengenai dugaan keterlibatan petinggi PDM Kota Madiun dan petinggi UMMAD, itu memang ada benarnya. Karena keluarnya enam tersangka yang sudah ditetapkan dan ditahan itu mustahil tanpa campur tangan pihak internal,” ujar Prijono, pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Meski menekankan bahwa pernyataannya masih dalam bentuk dugaan, Prijono menilai situasi yang terjadi menimbulkan banyak tanda tanya.
“Saya tidak menuduh, ini dugaan. Tapi kalau tanpa peran mereka, mustahil bisa keluar,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prijono mempertanyakan alasan serta waktu pelaksanaan penangguhan penahanan yang dilakukan di luar jam kerja.
“Penangguhan penahanan adalah hak penyidik. Tapi kalau alasannya tidak kuat dan waktunya dini hari, ini bisa menimbulkan kecurigaan. Kenapa tidak dilakukan saat jam kerja” katanya.
Ia juga menyampaikan kekhawatiran atas potensi intimidasi terhadap saksi jika para tersangka tidak berada dalam tahanan selama proses hukum berlangsung.
“Kalau mereka di luar, ada potensi mengatur atau mengintimidasi saksi. Nanti keterangan saksi bisa diatur saat sidang. Ini berbahaya bagi keadilan,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Prijono bahkan menyebut adanya dugaan bahwa para tersangka bisa bebas keluar-masuk tahanan.
“Ini sudah ditahan kok keluyuran. Pulang ke rumah, dipanggil lalu dipulangkan. Padahal ancamannya lebih dari lima tahun. Ini menimbulkan kekhawatiran dari pihak pelapor,” imbuhnya.
Prijono juga mengecam tindakan beberapa pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) UMMAD yang disebutnya mendatangi korban tanpa izin maupun konfirmasi lebih dulu.
“Itu pelanggaran kode etik. Kalau saya laporkan bisa dipecat. Sesama advokat kita punya etika. Masa langsung mendatangi klien saya tanpa konfirmasi” kecamnya.
Menurutnya, tindakan tersebut telah menyebabkan korban dan keluarganya merasa tidak nyaman.
“Itu membuat korban tertekan. Jangan karena beda posisi lantas mengabaikan etika profesi. Peganglah kode etik itu baik-baik,” ujarnya.
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Madiun, Sutomo, saat dikonfirmasi enggan memberikan keterangan lebih lanjut terkait dugaan adanya keterlibatan internal Muhammadiyah dalam kasus tersebut.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh Dr. Mahmud Rifa’i, Wakil Ketua PDM Kabupaten Madiun sekaligus Wakil Sekretaris Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi PWPM Jawa Timur.
Ia menekankan pentingnya menjaga independensi hukum tanpa intervensi dari pimpinan institusi Muhammadiyah.
“Biarlah hukum berproses, jangan ada intervensi dari pihak Pimpinan Institusi di mana salah satu tersangka sebagai bagian dari anggotanya, justru itu akan merusak marwah Persyarikatan Muhammadiyah,” tegas Mahmud.
Ia juga menjelaskan bahwa pimpinan Muhammadiyah semestinya menjadi cerminan dari nilai-nilai luhur yang termaktub dalam konsep Muhammadiyah Berkeadaban.
“Karena pimpinan merupakan simbol dari Muhammadiyah Berkeadaban, merupakan konsep yang menekankan pentingnya akhlak mulia dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,” ungkapnya.
Namun demikian, ia juga mengakui bahwa hukum tetap memberi ruang untuk penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif (Restorative Justice), selama tidak mengesampingkan prinsip keadilan.
“Jadi aspek inilah yang seharusnya dikedepankan, sehingga konsep tabayun sebagai implementasi koreksi dari kedua belah pihak, bahkan beberapa pihak,” pungkasnya.
Hingga berita ini ditayangkan, baik pihak Universitas Muhammadiyah Madiun (UMMAD) maupun LBH UMMAD belum memberikan pernyataan resmi menanggapi tudingan yang disampaikan kuasa hukum korban terkait dugaan intervensi maupun pelanggaran kode etik profesi.
Kasus ini mencuat setelah Dwi Rizal Hatmoko, mantan dosen UMMAD, melaporkan dugaan pengeroyokan yang dilakukan oleh sejumlah pejabat kampus dan dosen.
Polres Madiun Kota telah menetapkan enam orang sebagai tersangka dan sempat melakukan penahanan sebelum akhirnya diberikan penangguhan, yang kini menimbulkan kontroversi.
Enam tersangka yang dimaksud adalah Muhammad Halim Kusuma, Slamet Asmono, Muhammad Rifa'at Adiakarti, Santosa Pradana P.S.N., Yan Aditya Pradana, dan Muhammad Hasal Al Bana. Mereka ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil gelar perkara pada 4 Juni 2025, dan dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan. (*)