KETIK, BLITAR – Pagelaran Blitar Djadoel 2025 yang direncanakan berlangsung di Alun-Alun Kota Blitar ternyata menimbulkan kekecewaan mendalam bagi ratusan Pedagang Kaki Lima (PKL) lokal. Meski disebut sebagai “pesta rakyat”, acara ini justru membuat sebagian besar pedagang lokal merasa tersisih karena tidak mendapatkan tempat berjualan.
Andri, perwakilan dari paguyuban PKL Kota Blitar, menyampaikan keluhan kerasnya terhadap sistem pengelolaan stand oleh pihak event organizer (EO). Menurutnya, sekitar 200 lebih PKL tidak mendapat akses berjualan, kecuali membayar biaya sewa yang tidak sedikit.
“Jika mau nekat berjualan, ya harus bayar tiga juta rupiah mas per standnya ke event organizer (EO). Ada teman saya yang terpaksa beli karena gak kebagian tempat, ya sama, tiga juta juga bayarnya,” kata Andri kepada Ketik.
Lebih miris lagi, lanjutnya, mayoritas stand yang tersedia justru diisi oleh pedagang dari luar kota.
“Mayoritas pedagang yang jualan di stand-stand itu berasal dari luar kota semua mas. Ada yang dari Malang, Kediri, bahkan Madura sama Jawa Tengah juga banyak. Coba aja sampean tanya sendiri dari mana mereka itu asalnya,” ujarnya.
Andri mempertanyakan keadilan dalam pembagian tempat, mengingat PKL lokal yang sehari-hari menggantungkan hidup di Kota Blitar justru tersingkirkan.
“Kita yang penduduk lokal kelahiran asli Kota Blitar malah gak diprioritaskan. Trus kalau kita disuruh jualan berbayar gini, sementara kita cuman jualan sempol sama es teh, kita harus dapet omzet berapa mas per harinya?” ucapnya kesal.
Ia juga menghitung bahwa dengan harga sewa Rp3 juta untuk durasi acara selama lima hari, para PKL dituntut meraih omzet minimal Rp600 ribu per hari agar bisa balik modal - angka yang dianggap tidak masuk akal bagi pedagang kecil.
“Jelas kami tidak mampu untuk bayar. Lalu kami harus jualan di mana? Dulu zamannya Bapak Samanhudi (mantan Wali Kota Blitar), itu gratis semua loh,” kenangnya.
Karena tidak mendapatkan tempat resmi, para PKL akhirnya mendirikan tenda-tenda darurat sebagai bentuk aksi spontan. Mereka berharap bisa menarik perhatian Pemerintah Kota Blitar agar diberikan ruang yang layak untuk berjualan.
“Kami mau sewa stand, tapi ya harus melalui mekanisme Perda Kota Blitar. Kalau seperti ini ndak mampu kita, bahkan kita cuman bisa jadi penonton di negeri sendiri ini,” ucap Andri dengan nada getir.
Ia juga menyebut bahwa para PKL berasal dari berbagai paguyuban seperti Kenanga, Mastrip, Kebon Rojo, Pasar Legi, hingga Alun-Alun sendiri.
“Kalau ini pesta rakyat, rakyatnya siapa? Kita pribumi malah gak dapat tempat,” tegasnya.
“Kalau ngomongin kesejahteraan masyarakat seperti yang diomongin Pemerintah Kota Blitar, harapannya ya kita disediakan tempat untuk berjualan, biar UMKM Kota Blitar bisa maju, nggak dinikmati sebagian orang saja, itupun dari luar daerah,” tambahnya.
Saat ini, menurut Andri, belum ada komunikasi resmi dari Pemerintah Kota Blitar terhadap para pedagang yang kecewa.
“Teman-teman kumpul di sini pasang tenda stand biar dapat perhatian dari mereka,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Blitar, Hakim Isworo, memberikan tanggapan singkat saat dikonfirmasi via WhatsApp.
“Nanti kami cek dulu di lokasi,” balasnya singkat.
Ketua Komisi III DPRD Kota Blitar, Yudi Mahera, belum memberikan pernyataan terkait polemik ini. Dihubungi melalui telepon maupun WhatsApp, hingga berita ini diterbitkan, belum ada respons darinya.
Sedangkan Kepala Dinas Koperasi dan Tenaga Kerja Kota Blitar, Juyanto, membantah jika stand yang dikelola oleh dinasnya diperjualbelikan.
“Tolong kasih info ke saya bila stand dari Dinas Koperasi yang dijualbelikan,” ucap Juyanto dalam pernyataan tertulis.
Acara Blitar Djadoel sendiri merupakan bagian dari upaya Pemkot Blitar untuk mendorong penguatan ekonomi kreatif. Pada tahun 2024, dana yang dianggarkan untuk kegiatan ini mencapai Rp2 miliar. Untuk tahun 2025, APBD Kota Blitar mencapai Rp969 miliar, dengan fokus tetap pada sektor ekonomi kreatif.
Meskipun belum ada rincian resmi, pagelaran Blitar Djadoel tahun ini diperkirakan menelan anggaran sekitar Rp450 juta dari dana APBD.
Namun, dengan tingginya anggaran tersebut, banyak pihak mempertanyakan kenapa pedagang kecil lokal harus tetap membayar mahal untuk bisa berpartisipasi.
Pagelaran ini juga dihadiri langsung oleh Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, yang menambah kemeriahan acara. Sayangnya, bagi sebagian pedagang lokal, kehadiran tokoh penting tersebut tidak serta merta menghadirkan keberpihakan pada pelaku usaha kecil. (*)