Dalam Instagram Story pribadinya, @kgpaa.hamengkunegoro Putra Mahkota Kasunanan Surakarta Hadiningrat menuliskan pernyataan yang memicu perhatian publik, yakni "Nyesel Gabung Republik".
Tak hanya itu, KGPAA Hamangkunegoro juga mengunggah pernyataan lain yang berbunyi "Percuma Republik Kalau Cuma untuk Membohongi." Tak pelak lagi unggahan tersebut segera viral dan memancing pro dan kontra.
Sebenarnya seperti apa hubungan antara Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan Republik Indonesia. Berikut ini fakta yang bisa saya sampaikan.
Mataram : Dari Perjanjian Giyanti Sampai Perjanjian Salatiga
Setelah pemberontakan Cina mereda, bukan berarti keadaan Mataram menjadi pulih. Bahkan kekacauan semakin meningkat. Hubungan Pakubuwana II dengan para bangsawan Mataram menjadi tegang.
Kini Raden Mas Said melakukan pemberontakan dari Sukawati. Pemberontakan itu membesar setelah Pangeran Mangkubumi bersekutu.
Saat Pakubuwana II akan mangkat (1749) ia menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan ke tangan Kompeni. Adipati Anom dinobatkan menjadi Susuhunan Mataram sebagai vasal VOC dengan gelar Pakubuwana III.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa Pakubuwana II sakit keras, Pangeran Mangkubumi segera mengangkat diri sebagai Raja Mataram dengan Kotagede sebagai pusat pemerintahannya. VOC menarik Pangeran Mangkubumi ke meja perundingan yang akhirnya melahirkan Perjanjian Giyanti 1755.
Pembagian Jawa
Berdasarkan Perjanjian Giyanti, Mataram dibagi menjadi dua, yakni Mataram Surakarta Hadiningrat dengan Susuhunan Pakubuwono III sebagai rajanya, dan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Sementara itu pemberontakan Raden Mas Said terus berlangsung. Menyadari makin sulitnya mencapai tujuan perjuangannya sebagai penguasa tunggal Mataram, pada tahun 1757 Raden Mas Said bersedia mengadakan perundingan dengan Pakubuwana III yang terkenal dengan Perjanjian Salatiga. VOC sebagai pihak ketiga memanfaatkannya untuk memecah belah Mataram.
Isi Perjanjian Salatiga menyatakan Raden Mas Said memperoleh : 1. Wilayah tertentu di lingkungan Kerajaan Surakarta; 2. Hak menggunakan gelar Pangeran Adipati Mangkunegara, setingkat Putra Mahkota; 3. Hak mempunyai tentara yang kemudian terkenal sebagai Legiun Mangkunegaran.
Raja-raja Mataram (versi Viekke) adalah sebagai berikut :
1. Panembahan Senapati (1582-1601)
2. Panembahan Krapyak atau Mas Jolang (1601-1613)
3. Sultan Agung atau Cakrakusumarahman (1613-1645)
4. Amangkurat I (1645-1677)
5. Amangkurat II (1677-1703)
6. Amangkurat III atau Sunan Mas (1703-1705)
7. Pakubuwana I atau Sunan Puger (1705-1719)
8. Amangkurat IV (1719-1725)
9. Pakubuwana II (1725-1749).
Setelah Perjanjian Giyanti Mataram dibagi menjadi dua kerajaan. Masing masing mendapat setengahnya. Setengah untuk Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1749 - sekarang ) dan setengah lagi untuk Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat (1755 - sekarang ).
Setelah Perjanjian Salatiga, Kasunanan Surakarta dibagi dua dengan Kadipaten Mangkunegaran (1757 - sekarang ).
Mengikuti jejak Belanda, Inggris di bawah Raffles melakukan devide et impera (pecah belah dan kuasai) terhadap Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1813.
Jika Mangkunegara diberi wilayah yang diambilkan dari Kasunanan Surakarta, maka Paku Alam diberi wilayah yang diambil dari wilayah Kasultanan Yogyakarta. Dengan demikian berdirilah Kadipaten Pakualaman (1813-sekarang) dengan rajanya Pakualam setingkat raja muda.
Mataram yang jaya di masa pemerintahan Sultan Agung terbelah menjadi empat kerajaan besar dan kecil. Antara lain Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. VOC dan kemudian pemerintah Hindia Belanda mengatur rumah tangga kerajaan-kerajaan tersebut sampai tahun 1942 saat Belanda menyerah kepada Jepang.
Sikap Catur Sagatra (Empat Raja)
Saat saat menjelang Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945 hubungan baik kedua belah pihak (negeri masing-masing) antara Kadipaten Pakualaman dengan Kasultanan Yogyakarta dikembangkan dengan mengajak Kadipaten Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta (Catur Sagatra).
Saat itu Paku Alam VIII diutus Hamengku Buwono IX untuk menjalin diplomasi politik antar empat kerajaan, agar memiliki sikap politik yang sama dalam mendukung para pejuang kemerdekaan, sambil panahan di suatu tempat antara Sragen – Mantingan (KPH Wijoyokusumo, 1999, dalam Wahyukismoyo, 2017).
Sikap empat raja di Jawa (Catur Sagatra) menyatakan dukungan pada Republik.
Daerah Istimewa Surakarta
Antara Agustus 1945 hingga Juli 1946, pernah ada Daerah Istimewa Surakarta yang terdiri dari Kesunanan yang meliputi Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Boyolali serta Sragen; dan Mangkunegaran yang meliputi Wonogiri dan Karanganyar.
Daerah istimewa itu lahir setelah Pakubuwana XII menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia yang baru diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Namun Keraton Surakarta Hadiningrat dan Puri Mangkunegaran tidak berhasil memanfaatkan kesempatan-kesempatan untuk memainkan peranan positif dalam revolusi. Karena itu mereka pun tidak pernah dapat menguasai peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Kaum radikal Surakarta yang terhimpun dalam Barisan Banteng di bawah pimpinan Dr. Muwardi, pada bulan Januari 1946 menculik Pakubuwana XII dan ibunya dalam waktu singkat untuk menunjukkan rasa tidak senang rakyat. Sebelumnya pada 17 Oktober 1945, Patih Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh laskar tersebut.
Pada 23 Maret 1946 Tan Malaka, Mr. Subardjo, Sukarni dan lain-lainnya dari Persatuan Perjuangan ditangkap dituduh melakukan coup d’etat. Tan Malaka ditahan lebih dari dua tahun sambil menunggu proses diadili.
Namun serangan pihak oposisi terhadap pemerintah belum berakhir. Ibu kota negara berada di Yogyakarta tapi nampaknya pusat oposisi berada di Surakarta.
Karena di bulan Maret 1946 terjadi penolakan terhadap Daerah Istimewa Surakarta, Presiden Sukarno pun membekukan Daerah Istimewa Surakarta.
Kemudian atas desakan laskar dan tokoh-tokoh partai, pada 30 April 1946, Pakubuwana XII membubarkan daerah Swapraja. Sementara penguasa Mangkunegaran memaklumkan konstitusi wilayahnya di bawah payung Republik Indonesia, seperti dulu di bawah Kerajaan Belanda.
Pada Mei 1946, di Boyolali dan Klaten, diadakan rapat umum anti-Swapraja. Pada 23 Mei 1946, empat kabupaten di wilayah Swapraja Surakarta memutuskan hubungan dengan Kesunanan. Daerah-daerah itu kemudian masuk ke Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Surakarta lalu dihilangkan.
Gerakan AntiSwapraja ini juga berbuntut dengan penculikan PM Sjahrir yang ketika itu berada di Solo.
Setelah bulan bulan April 1946, kekuasaan di Surakarta dijalankan oleh Barisan Banteng. Panglima Soedirman dan para komandan tentara setempat berhasil melindungi Barisan Banteng, dari kemauan pemerintah untuk menumpasnya dan memulihkan kekuasaan pusat atas Surakarta.
Atas desakan Soedirman dan kaum radikal, hak-hak istimewa para Raja Surakarta di luar tembok istana mereka, secara resmi dihapuskan oleh pemerintah pada tanggal 1 Juni 1946.
Berdasarkan Maklumat Nomor 1 tanggal 1 Juni 1946, pemerintah militer dibentuk di Surakarta oleh Kolonel Sutarto dengan nama Pemerintah Rakyat dan Tentara.
Daerah Istimewa Surakarta hanya bertahannya satu tahun. Pemerintah Sjahrir harus menyaksikan jatuhnya seluruh Surakarta ke tangan kaum oposisi, baik di bidang militer maupun politik (Ricklefs, 2005 : 448-449; Supeni , 2001 : 248; detikNews, 1 Desember 2010; tirto.id, 29 Desember 2020; ). (*)
*) Harjoko Sangganagara adalah Pemerhati Sejarah Nasional
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi.(*)