KETIK, SURABAYA – Ramai penolakan program kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang wajib diikuti oleh semua pekerja baik ASN maupun swasta hingga pelaku usaha.
Sejatinya, Program Tapera merupakan amanat Undang-Undang No.4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Dari sana, terdapat aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2024 yang merevisi PP No. 25/2020, yang menetapkan besaran pungutan Tapera sebesar 3% dari gaji atau upah peserta.
Ekonom Konstitusi Defiyan Cori mempermasalahkan cara pemerintah menyusun kebijakan Tapera. Mengingat penyediaan rumah merupakan mandat yang perlu dipenuhi oleh pemerintah.
"Kalau kita bicara soal hak rakyat, mestinya pemerintah menyediakan dulu rumahnya, baru iuran. Bukan iuran dulu baru bangun rumahnya. Ini aja logikanya udah salah kalau hak mandatory ya," ujar Defiyan.
Ia mengungkapkan penghasilan pekerja sudah banyak terpotong untuk iuran dan kebutuhan hidup. Bahkan, mereka nyaris tidak punya tabungan. Oleh karena itu, kebijakan Tapera harus dipikirkan matang-matang dan disosialisasikan dengan baik.
Menurutnya, dana untuk membangun rumah bisa didapatkan dari Badan Usaha Milik Negara. Ia pun mempertanyakan kalau penyediaan rumah sebuah kewajiban bagi pemerintah, maka semestinya mengalokasikan dana untuk membangun rumah.
"Saya tidak melihat program ini tidak baik, tetapi salah satu hal mandat tadi sejak Undang-undang Nomor 4 2026 itu perlu sosialisasi, publikasi, dan komunikasi intensif dengan stakeholder," ungkapnya
Selain itu, Ekonom Segara Research Institute Piter Abdullah menilai program Tapera memiliki manfaat yang minim sehingga yang menonjol di masyarakat seolah-olah hanya bebannya yang berupa potongan gaji untuk iuran.
"Menurut saya program ini tidak dirancang dengan cukup baik. Program itu sebaiknya mengedepankan manfaat. Manfaatnya dulu yang ditonjolkan, bukan bebannya dulu yang tampak," katanya dikutip dari Kompas.com.
Ia menambahkan, dalam aturan baru ini hal yang menjadi sorotan utama adalah terkait pemotongan gaji untuk simpanan di Tapera.
Menurut Piter, membeli rumah di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan tabungan. Pasalnya, jumlah uang yang ditabung akan kalah cepat dengan kenaikan harga properti seperti rumah.
"Program ini tidak cukup bagus dirancang, karena tidak menunjukkan manfaat yang jelas, sementara biayanya sudah jelas duluan. Jadi orang menganggapnya ini bukan program untuk pekerja, tapi ini program untuk Tapera," terang dia.
Menurut Piter, pekerja akan merasa keberatan dengan adanya potongan iuran Tapera di tengah potongan lain seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
iuran dengan potongan gaji untuk membeli rumah semacam ini sebenarnya juga dijalankan di Singapura dengan nama Central Provident Fund (CPF).
Program ini diperuntukan bagi masyarakat yang ingin memiliki residen permanen dengan potongan senilai 8 persen.
Namun demikian, potongan tersebut digunakan untuk berbagai keperluan selain perumahan seperti pensiun, kesehatan, pendidikan, dan down payment (DP) apartemen.
Piter berharap program Tapera ini dapat dibuat lebih canggih lagi. Salah satunya dengan menyatukan berbagai macam potongan gaji atau dengan menggandeng pihak lain di pemerintahan untuk mendorong efektifitas dan manfaatnya. (*)