KETIK, JEMBER – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jember akhirnya memvonis Muhammad Yasin Magrobi (25) dengan hukuman 7 tahun penjara. Mahasiswa rumpun ilmu kesehatan di salah satu kampus di Jember itu dinyatakan terbukti melakukan pencabulan terhadap saudara sepupunya sendiri yang masih berusia 5 tahun.
Menyikapi vonis tersebut, terdakwa melalui kuasa hukumnya menyatakan pikir-pikir. Pengacara terdakwa, Dimastya Febbyanto menyebut kliennya seharusnya divonis bebas karena merasa tidak bersalah. Terdakwa masih bersikukuh tidak pernah melakukan perbuatan seperti yang dituntut oleh jaksa.
Dimastya menyebut, terdapat tiga poin yang menjadi alasan mereka bersikukuh terdakwa tidak bersalah.
Menyikapi vonis tersebut, kuasa hukum keluarga korban, Yamini mengaku bisa menerima vonis yang diberikan oleh majelis hakim. Kendati lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa sebelumnya.
"Kalau ngomong puas tidak puas, ya sampai kapanpun tidak akan puas. Karena memang apa yang dilakukan oleh terdakwa itu, adalah kejahatan yang luar biasa. Apalagi korbannya adalah anak-anak dan masih saudara, seberapapun hukuman yang akan diputuskan, tidak akan bisa mengembalikan (masa depan korban itu)," kata Yamini saat dikonfirmasi terpisah, Selasa (15/4/2025).
"Tetapi kalau kita melihat dari sisi hukumnya, dengan tuntutan 9 tahun itu sudah cukup relevan. Kemudian yang disampaikan oleh hakim itu (vonis 7 tahun penjara) sudah cukup tinggi," sambungnya.
Dengan vonis tersebut, lanjut Yamini, terdakwa maupun penasehat hukumnya berhak mengajukan banding ketika mendapat vonis hukuman.
"Ini bukti perjuangan kita itu membuahkan hasil, bahwa hakim telah sepakat dengan kita, sepakat dengan jaksa. Bahwa memang terdakwa ini bersalah, memang kejadian itu ada dan terdakwa yang melakukan. Meskipun dari kemarin-kemarin kan yang dibantah adalah itu. Bahwa terdakwa tidak melakukan dan peristiwa itu tidak pernah terjadi," ucapnya.
Terkait tiga faktor alasan terdakwa harusnya dibebaskan dari vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan. Perempuan yang juga Ketua Ahimsa Mahardika Jember ini, balik mempertanyakan pernyataan dari penasehat hukum terdakwa.
"Yang pertama soal tidak adanya saksi. Namanya kekerasan seksual sering kali memang tidak ada saksi. Aneh saja kalau misalnya pelaku itu melakukan kekerasan seksual di depan umum. Tapi kan ada bukti-bukti lain yang mengarah ke sana (tindak pencabulan)," jelasnya.
"Di persidangan juga itu juga ada saksi ahli, dan hakim juga sudah memutuskan bahwa itu benar terjadi, hasil visumnya sudah mengatakan seperti itu, ahlinya juga mengatakan seperti itu, artinya kan selesai. Kalau PH (Penasehat Hukum) terdakwa menyatakan tidak ada saksi itu ya haknya. Tapi aneh sebagai orang hukum, bahwa itu tidak ada saksi kasus kekerasan seksual. Itu aneh," sambungnya.
Kemudian poin kedua, lanjutnya, menanggapi soal sakit menahun di alat kelamin korban sehingga menyebabkan keputihan.
"Dia (PH terdakwa) juga tidak bisa membuktikan itu, artinya kan hanya asumsi. Pada saat persidangan terdakwa melalui PH nya, kan dia punya kesempatan membuktikan itu, dan ternyata tidak bisa membuktikan. Artinya sampai saat ini, putusan hakim itu adalah keputusan yang tepat," ujarnya.
Kemudian untuk luka robekan pada alat kelamin korban, lebih jauh kata Yamin, hal itu bisa dibuktikan.
"Karena kalau pembuktian dalam hukum pidana itu ada 5 paling enggak. Tidak hanya cukup dari saksi. Dilengkapi visum itu kan juga bukti tertulis. Luka robekan gitu ya, karena jatuh, karena sakit, karena disengaja dirusak oleh benda tumpul ataupun benda lain, itu beda dan ahli juga sudah menyatakan itu. Di persidangan ahli pasti menyampaikan bagaimana hasil visumnya dan sebagainya, visumnya jelas kok (pidana pencabulan)," ulasnya.
Dari semua proses persidangan, kata Yamini, pembelaan Penasehat Hukum terdakwa terbantahkan.
"Dengan adanya putusan 7 tahun, majelis hakim mengakui dan jaksa bisa membuktikan bahwa peristiwa itu memang terjadi dan yang melakukan adalah terdakwa," tandasnya. (*)