1.200 Jurnalis Terdampak PHK, Dewan Pers Soroti Peran Pemerintah dan Disrupsi Media

5 Mei 2025 14:58 5 Mei 2025 14:58

Thumbnail 1.200 Jurnalis Terdampak PHK, Dewan Pers Soroti Peran Pemerintah dan Disrupsi Media
Dewan Pers Desak Pemerintah Serius Perhatikan Industri Media yang Tertekan. (Foto: Dewan Pers)

KETIK, SURABAYA – Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, prihatin atas tekanan yang dialami industri media akibat disrupsi media sosial dan mendesak perhatian serius dari pemerintah.

"Kami meminta pemerintah memberikan atensi sungguh-sungguh terhadap kondisi media saat ini. Bukan hanya soal bisnisnya, tapi juga kesejahteraan dan keselamatan para jurnalis," kata Ninik pada peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Ismail Marzuki, Sabtu 3 Mei 2025.

Tekanan pada industri media saat ini terlihat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap jurnalis. Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebanyak 1.200 jurnalis terdampak PHK selama periode 2023 hingga 2024.

Ninik menjelaskan bahwa gelombang PHK tersebut merupakan dampak dari pergeseran belanja iklan dari media konvensional ke media digital dan influencer. Pada tahun 2024, total belanja iklan nasional mencapai Rp107 triliun, dengan 44,1 persen merupakan iklan digital. Dari jumlah tersebut, sekitar 75 hingga 80 persen diserap oleh platform global seperti Meta dan Google.

Ninik juga mengkritik pola kerja sama pemerintah dan media yang dinilainya perlu direvisi. Ia menyoroti alokasi anggaran pemerintah yang cenderung lebih besar ke platform media sosial dan konten kreator daripada media konvensional.

"Kalau saya boleh meminta, ubah cara bekerja sama. Jangan hanya menggunakan biaya iklan untuk media sosial atau YouTuber. Alokasikan juga anggaran untuk media konvensional. Tapi dengan catatan penting, beritanya jangan dibeli," ujarnya.

Ninik menekankan pentingnya media bekerja secara independen tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pemberi dana iklan. Ia juga memperingatkan agar tidak ada perlakuan istimewa terhadap media yang dianggap sejalan dengan kepentingan pemerintah.

"Jangan ada media yang diberi label disukai karena hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat kehumasan atau membangun citra. Media harus menyuarakan fakta, bukan jadi alat propaganda," tegasnya.

Selain itu, Ninik menekankan pentingnya menjaga pemisahan antara ruang redaksi dan kepentingan bisnis. Menurutnya, kerja sama dalam bentuk apapun tidak boleh mengintervensi independensi redaksi media.

"Pemerintah harus ikut menjaga pagar api. Pastikan bahwa kontrak atau kerja sama tidak mengintervensi isi berita, karena itu adalah suara rakyat," ujar Ninik.

Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, Wisnu Prasetya Utomo, mengungkapkan bahwa disrupsi ini terjadi karena platform seperti Google dan YouTube dapat menjangkau audiens secara langsung tanpa melalui perantara media.

"Mereka melakukan bypass terhadap media. Ini membuat pergeseran iklan terjadi secara dramatis," kata Wisnu.

Wisnu menilai bahwa media tidak bisa menghadapi tantangan ini sendirian dan memerlukan dukungan regulasi yang berpihak agar tetap memperoleh porsi iklan yang adil. 

Ia juga menyarankan agar media mengembangkan strategi pendapatan alternatif seperti skema berlangganan dan hibah untuk mengurangi ketergantungan pada pendapatan iklan. (*)

Tombol Google News

Tags:

Dewan Pers Ninik Rahayu Aji Jurnalis Hari Pers