Ketua Komisi A DPRD Surabaya Temukan Pemalsuan Domisili KTP Gunakan Alamat Tempat Ibadah

15 Mei 2025 16:39 15 Mei 2025 16:39

Thumbnail Ketua Komisi A DPRD Surabaya Temukan Pemalsuan Domisili KTP Gunakan Alamat Tempat Ibadah
Ketua Komisi A DPRD Surabaya Yona Bagus Widyatmoko di ruangannya. (Foto: Shinta Miranda/Ketik.co.id)

KETIK, SURABAYA – Ketua Komisi A DPRD Surabaya Yona Bagus Widyatmoko mengungkapkan temuannya soal adanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menggunakan alamat tempat ibadah, bukan dari domisili pemilik KTP tersebut.

Yona menilai hal ini menyalahi aturan administrasi kependudukan. Yona menyebut hal ini menjadi salah satu siasat yang dilakukan oleh pendatang.

"Ada intervensi dari pihak eksternal yang meminta bantuan untuk pengurusan KTP menggunakan alamat di rumah-rumah ibadah. Ini tidak bisa diizinkan," jelas Yona pada Kamis 15 Mei 2025.

Menurutnya, aturan yang bisa disesuaikan dengan alamat tempat ibadah yaitu marbot masjid atau pendeta.

"Ini tidak bisa diizinkan, kecuali hanya untuk beberapa orang dengan fungsi khusus seperti pendeta atau marbot," terang Yona.

Menurutnya, hal ini bisa menjadi celah bagi oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingan tertentu, termasuk keperluan pendidikan, pekerjaan, atau akses layanan publik lainnya.

Politisi Partai Gerindra ini menegaskan bahwa pemalsuan domisili tidak hanya menyalahi norma, tapi juga menabrak ketentuan hukum.

“Kalau dalam jumlah cukup banyak, itu tidak masuk akal dan tidak bisa dibenarkan. Apalagi kalau tujuannya untuk mengelabui sistem administrasi kependudukan,” paparnya.

Yona juga menjelaskan bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit memperbolehkan rumah ibadah dijadikan alamat domisili KTP, kecuali dalam kondisi tertentu.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, yang kerap dijadikan rujukan, menurutnya hanya mengatur soal pendirian rumah ibadah dan terkait Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

“Saya sudah pelajari PBM dua menteri itu, dan tidak ada yang mengatur soal penggunaan rumah ibadah untuk domisili KTP. Jadi dasar hukumnya tidak ada,” tegas Yona.

Dia mencurigai bahwa banyak dari pemohon KTP dengan alamat rumah ibadah ini adalah pendatang dari luar Surabaya, yang enggan mencantumkan alamat aslinya karena tidak tinggal secara resmi di kota pahlawan.

“Contohnya ada warga dari Indonesia timur, tapal kuda atau luar sini yang tinggal di Surabaya dan tidak bisa membuat KTP karena tidak punya alamat tetap. Akhirnya alamat gereja dijadikan domisili. Untuk warga muslim masjid dijadikan alamat,” jelas Wakil Ketua DPC Gerindra Surabaya ini.

Meski demikian, dia mengakui bahwa tidak semua kasus bisa digeneralisasi. Beberapa orang memang tinggal dan bertugas di rumah ibadah, sehingga layak mendapatkan alamat tersebut secara administratif.

“Kalau memang tinggal di situ dan menjalankan fungsi, seperti pendeta, takmir, atau marbot, itu bisa diterima. Biasanya juga ada mess atau ruang tinggal untuk mereka,” tutur Yona.

Yona mengingatkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya agar tegas dalam menyikapi permohonan semacam ini, agar tidak terjebak dalam ewoh-pekewuh akibat tekanan dari pihak luar.

Dia juga menganjurkan agar regulasi yang lebih tegas segera disusun untuk mencegah praktik serupa terulang.

“Ini bukan soal agama atau SARA. Ini soal ketertiban administrasi dan etika dalam kependudukan. Jangan sampai rumah ibadah dijadikan alat manipulasi data,” tandasnya.(*)
 

Tombol Google News

Tags:

Yona Bagus Widyatmoko Komisi A Komisi A DPRD Surabaya DPRD Surabaya Yona ktp Surabaya