Mencengangkan! Ada grup facebook (FB) “Fantasi Sedarah” beranggotakan 32 ribu pengikut. Lembaga resmi seperti Kementerian Komunikasi & Digital (Komdigi) tidak mengetahui sejak awal. Baru seminggu terakhir mereka bergerak menutup, setelah ramai protes masyarakat karena isinya meresahkan. Isinya tentang eksploitasi seksual anak dan hubungan sedarah (incest). Melalui coordinator Meta, akun itu telah ditutup dan dibekukan oleh Komdigi. Sehingga tepatlah ungkapan no viral, no action.
Timbul pertanyaan dalam benak penulis, mengapa kasus ini baru tercium baru oleh Komdigi? Selama ini, perhatian mereka tampak lebih terfokus pada pengawasan akun judi online dan kejahatan perbankan digital. Padahal, grup seperti “Fantasi Sedarah” juga jelas-jelas melanggar hukum dan membahayakan moral masyarakat. Sayangnya, kasus ini baru terungkap setelah netizen ramai-ramai melaporkan dan memprotes keberadaan grup tersebut. Netizen heboh karena ada akun yang dianggap meresahkan dan berbahaya.
Penulis juga tergellitik, sedemikian parahnya kondisi masyarakat kita, mereka menjadi pengikut grup ini. Memang tidak bisa dipersalahkan karena sifat anonim media sosial. Bisa saja identitas pengakses akun tersebut kerap berbeda dengan jenis kelamin aslinya. Sifat anonimitas medsos ini yang kerap dimanfaatkan “laki-laki hidung belang”. Bisa jadi kebanyakan pengikut ini adalah laki-laki yang berfantasi seksual liar dan menjadikan perempuan sebagai objek seks.
Imaji Seks
Fenomena ini juga mengungkap sisi gelap masyarakat kita. Bagaimana mungkin sebuah grup dengan konten menyimpang seperti ini bisa memiliki puluhan ribu anggota? Memang, sifat anonim media sosial membuat siapa pun bisa bergabung tanpa harus menunjukkan identitas asli.
Banyak pengguna memanfaatkan anonimitas ini untuk menyalurkan fantasi seksual liar, menjadikan perempuan sebagai objek, atau bahkan sekadar mencari sensasi. Tidak menutup kemungkinan, mayoritas anggota grup tersebut adalah laki-laki yang mencari pelampiasan di dunia maya.
Makanya tidak aneh bila pengikut akun FB ini sebegitu massif. Pada awal 2025, We Are Social melaporkan bahwa ada sekitar 143 juta identitas pengguna media sosial di Indonesia, dengan Facebook menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan.
Facebook dilaporkan memiliki 122 juta pengguna di Indonesia pada awal 2025. Kita tidak akan dengan mudah menengarai seseorang mengikuti akun tersebut karena sifat media sosial yang anonim. Inilah kelemahan media sosial yang bisa menjadi alibi bagi pelaku tindak kriminal dengan menggunakan media sosial.
Situasi ini menandakan terjadinya dekadensi moral di tengah masyarakat. Norma agama dan sanksi sosial seolah tidak lagi menjadi penghalang. Media sosial, terutama Facebook, menjadi lahan subur bagi mereka yang ingin mencari atau menampilkan imaji-imaji seksual menyimpang.
Di sisi lain, patut diapresiasi langkah Komdigi yang pernah menutup sejumlah situs porno di masa kepemimpinan Meutia Hafidz. Namun, penutupan grup seperti “Fantasi Sedarah” seharusnya tidak perlu menunggu viral lebih dulu.
Orang bisa berbuat jahat melalui media sosial, sekaligus orang pun bisa menyebarkan kebaikan lewat media ini. Artinya, penggunaan media ini tergantung pada niat pemakainya. Bilai niat sudah jahat, media apapun bisa digunakan untuk berbuat jahat. Sebaliknya, orang yang berniat mulia, orang bisa menyebarkan kebaikan kepada netizen lain melalui media sosial.
Sejatinya langkah Kementerian Pendidikan Dasar & Menengah (Dikdasmen) kurang tepat saat menerapkan kurikulum Coding dan Algoritma dalam kurikulum pendidikan di Indonesia sebelum mempersiapkan dasar-dasar literasi digital kepada siswa. Sebetulnya yang lebih penting lagi adalah materi dasar tentang dampak penggunaan media sosial bagi kejahatan.
Kejahatan siber (cybercrime) harus diajarkan sejak dini agar anak-anak mewaspadai dan mampu mengidentifikasi tindakan kriminal di media online, atau ajaran-ajaran yang menyimpang dari norma sosial dan kemasyarakatan kita. Misalkan tentang LGBT, perilaku incest, ajaran radikal dan terorisme. Selain untuk mengenal lebih dini, mereka juga perlu dibekali dengan cara-cara mengantisipasinya.
Berkaca pada Negara Lain
Kita bisa berkaca pada negara lain, mereka serius menangani kasus media sosial yang dianggap membahayakan. Berbagai negara telah menghadapi kasus serupa terkait eksploitasi seksual melalui media sosial dan menanganinya dengan pendekatan yang tegas dan terkoordinasi. Salah satu kasus besar terjadi pada platform “Kidflix”, sebuah situs eksploitasi seksual anak dengan sekitar 1,8 juta pengguna secara global.
Mengutip situs www.europol.europa.eu pada 2 April 2025, penegak hukum internasional, termasuk Europol, melakukan operasi besar-besaran yang berhasil menangkap 79 pelaku yang terlibat dalam distribusi materi pelecehan seksual anak. Penutupan platform ini melibatkan kerja sama lintas negara dan penegakan hukum yang intensif untuk membongkar jaringan pelaku dan melindungi korban.
Di Inggris, pada Oktober 2024 situs www.iwf.org.uk melaporkan penanganan kejahatan serupa dilakukan melalui kebijakan dan aksi hukum yang komprehensif. Laporan Independent Inquiry into Child Sexual Abuse (IICSA) mengungkap bahwa polisi Inggris menangkap lebih dari 450 orang setiap bulan terkait kejahatan seksual anak di dunia maya.
Penegakan hukum dilakukan secara proaktif, dengan kolaborasi antara kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan regulator teknologi. Selain penegakan hukum, pemerintah Inggris juga menekan perusahaan media sosial untuk memperketat perlindungan anak dan meningkatkan transparansi platform mereka dalam menghapus konten berbahaya.
Thailand pun tegas melakukan penutupan dan pemblokiran terhadap situs dan akun media sosial yang mengandung konten eksploitasi seksual dan pornografi. Mengutip pemberitaan idntimes.com, pada November 2020, pemerintah Thailand memblokir situs Pornhub setelah muncul protes dari masyarakat terkait konten pornografi yang dianggap merugikan dan berbahaya. Selain itu, pemerintah Thailand juga secara tegas meminta platform seperti Facebook untuk memblokir konten ilegal, termasuk konten yang melanggar hukum Thailand, dengan ancaman tindakan hukum jika tidak mematuhi perintah pengadilan. Wallahu alam bissawab.(*)
*) Yayan Sakti Suryandaru adalah Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga, Surabaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)