Di tengah laju peradaban digital yang kian masif, muncul sebuah fenomena menarik sekaligus mengkhawatirkan. Fenomena ini adalah semakin banyaknya individu yang mencari rujukan agama dan spiritualitas melalui mesin teknologi seperti Google atau bahkan kecerdasan buatan (AI).
Akankah tren ini menjadi dilemma serius? Atau bahkan justru membantu manusia untuk menambah kesalehan pribadi secara cepat di tengah gempuran era modern?
Hausnya Spiritual di Tengah Lautan Informasi
Dahaga akan makna dan spiritualitas di era modern memang bukan hal baru. Namun, cara pencariannya yang bergeser ke ranah digital adalah tren yang patut dicermati. Laporan terbaru dari We Are Social dan Kepios (2024) menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan orang Indonesia di internet mencapai 7 jam 42 menit per hari.
Angka ini mencerminkan betapa lekatnya kita dengan dunia maya. Data spesifik mengenai pencarian konten agama via Google dan AI memang masih terus berkembang pesat. Namun, kecenderungan penggunaan internet untuk segala kebutuhan informasi, termasuk keagamaan, tak terbantahkan.
Hasil riset yang dirilis oleh Pew Research Center (2019) mengindikasikan bahwa sekitar 28 persen pengguna internet di Amerika Serikat mencari informasi keagamaan secara daring. Meskipun data global dan Indonesia secara spesifik masih perlu penelitian lebih lanjut, dapat diasumsikan bahwa angka ini juga relevan di konteks kita, mengingat tingginya penetrasi internet hingga kini.
Sayangnya, kemudahan akses ini juga memicu maraknya konsumsi konten keagamaan instan yang minim sanad dan kredibilitas. Belum ada statistik pasti mengenai persentase masyarakat dunia dan Indonesia yang secara spesifik memproduksi atau mengonsumsi konten keagamaan instan dan tidak bersanad jelas.
Namun, indikasi kuat dapat dilihat dari viralnya ceramah atau tafsir yang tidak terverifikasi kebenarannya, bahkan seringkali memuat pandangan ekstrem atau menyimpang. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat lebih mengedepankan kecepatan informasi ketimbang validitas sumber.
Kecerdasan buatan (AI) menawarkan potensi luar biasa dalam menyebarkan informasi keagamaan. AI dapat menyajikan informasi secara cepat, personalisasi konten sesuai preferensi pengguna, dan bahkan menerjemahkan teks-teks keagamaan kuno ke dalam berbagai bahasa. Misalnya, AI dapat membantu menemukan ayat-ayat Al-Qur'an atau hadis yang relevan dengan topik tertentu dalam hitungan detik.
Namun, ancaman yang ditimbulkan AI juga tidak main-main. Prof. John Wyatt, seorang profesor etika dan teknologi dari University College London, dalam bukunya Robots, God and AI: Making Sense of Our Digital Future (2020), menekankan bahwa AI tidak memiliki kesadaran spiritual, emosi, atau pengalaman langsung tentang iman. Ia hanya memproses data.
Bayangkan jika AI terus memproduksi data yang bias atau salah, keliru, menyesatkan, atau bahkan mendorong ekstremisme. Kekhawatiran ini senada dengan pandangan Syed Hossein Nasr, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, yang dalam berbagai karyanya, seperti Knowledge and the Sacred (1989), seringkali mengingatkan tentang pentingnya menjaga otentisitas tradisi spiritual dari gempuran modernitas.
Jika fenomena ini terus berlanjut, pola keberagamaan di masa depan mungkin akan menjadi lebih terfragmentasi dan personal. Individu akan memiliki "agama" versinya sendiri, yang dibentuk oleh algoritma dan preferensi digital mereka, bukan oleh komunitas atau otoritas agama yang terverifikasi. Hal ini dapat melemahkan kohesi sosial dan menipiskan pemahaman kolektif tentang nilai-nilai agama yang moderat.
Menuju Keberagamaan yang Bertanggung Jawab
Lantas, bagaimana seharusnya mencari rujukan konten keagamaan yang benar dan bersifat moderat di tengah derasnya arus informasi digital? Kuncinya adalah literasi digital yang kuat.
Pertama, utamakan mencari ilmu dari pakar agama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas dan diakui. Sanad (rantai transmisi ilmu) adalah fondasi validitas dalam tradisi keilmuan Islam, memastikan keaslian dan kemurnian ajaran. Carilah ulama atau lembaga pendidikan agama yang dihormati dan memiliki rekam jejak yang baik.
Kedua, kritis terhadap informasi yang diterima, terutama dari sumber online. Jangan mudah percaya pada konten yang viral tanpa pengecekan silang. Bandingkan informasi dari berbagai sumber kredibel dan jangan ragu untuk bertanya kepada pakar.
Ketiga, manfaatkan AI dan teknologi secara bijak dan sesuai anjuran agama serta moral. AI dapat menjadi alat bantu yang luar biasa untuk mencari informasi awal, menerjemahkan teks, atau mengorganisasi data keagamaan. Namun, ia tidak boleh dijadikan satu-satunya otoritas atau sumber kebenaran mutlak.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. Tariq Ramadan, dalam berbagai pernyataan maupun karyanya, teknologi adalah alat, dan penggunaannya haruslah sesuai dengan nilai-nilai etika dan kemanusiaan. Teknologi termasuk AI harus melayani umat, bukan menguasai umat. Banyak tokoh dunia, akademisi, dan pakar agama Islam dari berbagai belahan dunia menyoroti fenomena ini.
Prof. Mohamed Arkoun, seorang pemikir Islam kontemporer, dalam karya-karyanya, seperti Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers (1994), seringkali menekankan pentingnya pendekatan kritis dan historis dalam memahami teks keagamaan, sebuah kehati-hatian yang semakin relevan di era AI.
Di sisi lain, Dr. Ingrid Mattson, seorang cendekiawan Muslim Amerika Utara, menyoroti pentingnya pendidikan agama yang inklusif dan berbasis komunitas untuk menangkal narasi-narasi ekstrem yang mungkin tersebar via digital.
Dalam ranah literatur akademis, buku seperti The Age of Surveillance Capitalism oleh Shoshana Zuboff (2019) berupaya memahami bagaimana data kita dieksploitasi, yang secara tidak langsung juga memengaruhi bagaimana informasi keagamaan disajikan dan dikonsumsi.
Sementara Imam as-Shatibi dalam karyanya Al-Muwaqqifaat fi Ushul al-Fiqh menggarisbawahi prinsip-prinsip maqasid syariah yang bisa menjadi panduan etis dalam menghadapi inovasi teknologi, termasuk AI.
Cendekiawan moderat dunia seperti Abdullah Saeed dalam karyanya The Qur'an: An Introduction (2008), menyajikan pendekatan hermeneutika yang mempertimbangkan konteks dan relevansi dalam memahami teks suci, menolak interpretasi tunggal dan instan. Hal ini termasuk pula pemahaman teks keagamaan yang bisa dihasilkan oleh AI dalam hitungan detik.
Masa Depan Keagamaan Kita
Fenomena mencari Tuhan lewat mesin bukanlah sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari pergeseran paradigma dalam pencarian kebenaran. Kita harus menyadari bahwa agama bukanlah sekumpulan data yang dapat diunduh dan diproses oleh algoritma. Agama adalah pengalaman spiritual, komunitas, dan tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan sanad yang jelas.
Jika bangsa Indonesia terus terbuai dengan kemudahan instan tanpa verifikasi dan bimbingan yang benar, kita berisiko menciptakan generasi yang haus agama namun mudah tersesat, rentan terhadap ideologi ekstrem, dan kehilangan akar tradisi yang telah menjaga kemoderatan beragama. Maka, pertanyaan besar bagi masa depan bangsa Indonesia adalah: Akankah kita membiarkan algoritma membentuk keyakinan keagamaan kita?
Ataukah kita akan secara proaktif membekali diri dengan literasi digital dan kembali kepada sumber-sumber kredibel, menjaga otentisitas, dan memastikan bahwa pencarian Tuhan kita adalah perjalanan yang penuh makna dan tanggung jawab, bukan sekadar penelusuran data instan? Mari kita renungkan bersama.
*) Ali Mursyid Azisi, MAg merupakan Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Anggota LTN PWNU Jawa Timur 2024-2029
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakanidentitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)