Penari di Atas Ombak Kekuasaan

17 Maret 2025 10:23 17 Mar 2025 10:23

Thumbnail Penari di Atas Ombak Kekuasaan Watermark Ketik
Oleh: Eko Hardianto*

Pilkada 2025 sudah usai. Kepala daerah terpilih juga sudah menerima titah negara dan mandat rakyat, memimpin mereka hingga 2030 mendatang. Tapi apakah politik benar-benar usai. Tentu saja tidak bagi sang pengantin. Lah bagaimana dianggap selesai, wong masih mau menjabat sampai lima tahun ke depan. 

Politik, bagi penulis bagaikan panggung sandiwara. Tempat para aktor berlaga. Bersumpah atas nama rakyat, berkhotbah tentang keadilan,  hingga melantunkan syair-syair harapan. Sudah mafhum. Yang menarik bagi penulis adalah news behind the news, gemerlap pesta demokrasi. 

Apakah itu? Apa dan siapa lagi kalau bukan para ‘dalang’ bermain dalam bayang-bayang. Menyesuaikan gerak dengan irama yang paling menguntungkan mereka. Yang lucunya, sampai sekarang juga menganggap perhelatan pilkada belum tuntas. 

Kata wong ndeso, sebutan ‘dalang’ itu lebih menghormati ketimbang pakai diksi tim sukses oportunistik. Yang juga penulis anggap kafilah tanpa tanah air. Saudagar janji yang menjual kesetiaan dengan harga tertinggi. 

Ya. Memang, dari bilik-bilik rapat penuh gelak tawa. Panggung kampanye yang gegap gempita, saat kontestasi terjadi, mereka hadir. Hadir sebagai peniup terompet kemenangan. Tapi apa iya mereka para pejuang? Ataukah hanya pedagang yang sibuk mengatur untung-rugi? Menentukan kapan harus bertahan dan kapan mesti angkat kaki?

Dalam memainkan peran, para oportunis ini hadir di awal perjuangan. Seperti prajurit yang bersumpah setia. Dengan dada membusung, mereka menyuarakan keunggulan sang calon. Melontarkan pujian setinggi langit, dan mengecam lawan tanpa ragu. "Dialah pemimpin yang kita tunggu!" seru mereka, seakan tak ada insan lain yang lebih layak.

Namun, di balik layar, he he he. Mereka merajut tali di dua perahu, menimbang peluang yang paling menjanjikan. Jika angin kemenangan berhembus kencang ke satu arah, mereka segera mengibarkan layar. Meninggalkan kapal lama tanpa beban. Bagi mereka, kesetiaan bukanlah soal keyakinan, melainkan soal harga.

Hari ini mereka bersorak untuk seorang pemimpin. Besok mereka bersujud di hadapan lawannya. Seperti daun kering yang menari di atas arus, mereka tak pernah memiliki akar.

Dalam dunia mereka, kata-kata adalah senjata. Kebohongan adalah mata uang yang sah. Mereka pandai melukis langit dengan warna-warna indah. Meski di baliknya hanya mendung yang bergelayut. Mereka menyusun janji seperti bangunan istana pasir. Megah dipandang, tetapi runtuh saat ombak menerjang.

Mereka berkata, "Rakyat adalah segalanya!" sambil menulis anggaran untuk diri sendiri. Mereka berjanji membela yang lemah, namun diam saat kesewenang-wenangan terjadi. Di atas podium, mereka berteriak lantang tentang integritas. Tapi di balik meja, tangan mereka menandatangani perjanjian gelap.

Seperti penjual obat di pasar malam, mereka menjajakan harapan. Membujuk rakyat dengan tutur manis, sementara mereka sendiri tahu bahwa obat yang mereka jual tak lebih dari air bercampur gula.

Mari kita ulas para oportunistik ini lebih dalam. Bagi mereka, politik bukanlah seni mengabdi, melainkan arena dagang. Mereka bukanlah pejuang ideologi. Tetapi pedagang yang mencari keuntungan dalam setiap transaksi kekuasaan. Mereka tidak peduli pada nasib rakyat. Yang mereka pedulikan hanyalah seberapa besar keuntungan bisa mereka peroleh. 

Saat sang kandidat menang, mereka segera menagih janji, meminta jabatan, proyek, atau sekadar bagian dari kue kekuasaan. Mereka ingin duduk di kursi empuk. Ingin menjadi pejabat, komisaris, atau sekadar makelar proyek.

Mereka adalah tangan-tangan tak terlihat yang merusak sistem. Memastikan bahwa kekuasaan bukan lagi alat untuk melayani rakyat. Melainkan mesin yang memutar roda kepentingan pribadi.

Namun, jika sang kandidat kalah, mereka segera berkemas, meninggalkan kapal yang tenggelam, dan bergegas mencari pelabuhan baru. Mereka bukanlah pejuang yang akan tetap bertahan dalam badai. Mereka hanyalah pelancong yang mencari cuaca cerah untuk berlayar.

Tim sukses oportunistik tak lebih dari racun dalam cawan demokrasi. Mereka yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat malah menjelma menjadi perantara kepentingan pribadi. Mereka menjadikan pemilu sebagai ajang transaksi. Menjual dukungan kepada yang mampu membayar lebih.

Merekalah yang mengajarkan politik adalah permainan uang, bahwa jabatan adalah barang dagangan, bahwa kesetiaan hanyalah kata kosong yang bisa dinegosiasikan. Merekalah yang membuat demokrasi kehilangan maknanya. Berubah menjadi sekedar ritual lima tahunan tanpa substansi.

Mereka adalah para penjagal harapan. Yang datang dengan janji dan pergi dengan kepentingan. Merekalah yang menyebabkan rakyat terus terjebak dalam lingkaran kekecewaan. Memilih dan terus memilih, tetapi selalu berakhir dalam ketidakpuasan.

Demokrasi adalah suara rakyat. Bukan suara para pedagang yang menjual kepada penawar tertinggi. Politik adalah jalan pengabdian. Bukan panggung bagi para aktor yang bermain peran demi keuntungan sendiri.

Kita harus belajar mengenali mereka para penari di atas ombak kekuasaan. Yang siap berpindah kapan saja. Kita harus lebih jeli melihat siapa yang benar-benar berjuang dan siapa yang hanya mencari makan di meja politik.

Jika kita terus membiarkan tim sukses oportunistik merajalela. Maka politik hanya akan menjadi perburuan kekuasaan yang tak berujung. Sementara rakyat tetap menjadi penonton yang tak pernah mendapat bagian.

Sudah saatnya kita membuka mata. Membongkar kepalsuan, dan menyingkirkan mereka yang hanya menjadikan politik sebagai panggung sandiwara. Sebab, demokrasi sejati hanya akan lahir dari ketulusan. Bukan dari tipu daya para oportunis yang menari di atas penderitaan rakyat. Salam.

*) Eko Hardianto merupakan jurnalis Ketik Probolinggo Raya

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini