75 Tahun Indonesia–Tiongkok: Saatnya Hubungan yang Lebih Setara dan Inklusif

14 April 2025 07:05 14 Apr 2025 07:05

Thumbnail 75 Tahun Indonesia–Tiongkok: Saatnya Hubungan yang Lebih Setara dan Inklusif Watermark Ketik
Oleh: Agus Mahfudin Setiawan*

Pada 13 April 2025, Indonesia dan Tiongkok memperingati 75 tahun hubungan diplomatik modern yang dimulai sejak 1950. Namun, sesungguhnya relasi antara kedua bangsa telah terjalin jauh sebelumnya, bahkan sejak era kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara. 

Catatan sejarah menunjukkan adanya hubungan dagang antara pedagang Tionghoa dan pelabuhan-pelabuhan di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, yang menjadikan interaksi ini tidak sekadar hubungan diplomatik, melainkan pertemuan antarperadaban.

Tujuh puluh lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama kurun waktu itu, kedua negara telah mengalami berbagai pasang surut, mulai dari hubungan yang membeku pada era Orde Baru hingga kembali menghangat di masa reformasi. 

Kini, hubungan bilateral Indonesia–Tiongkok telah menjadi salah satu yang paling strategis di kawasan Asia Timur dan Tenggara, terutama dalam bidang ekonomi dan investasi. 

Namun, dalam peringatan yang bersifat historis ini, muncul pertanyaan penting: apakah hubungan yang telah dibangun selama ini sudah benar-benar berkeadilan dan berpihak pada rakyat banyak?

Tidak bisa dimungkiri bahwa Tiongkok memainkan peran vital dalam pembangunan infrastruktur Indonesia dalam dua dekade terakhir. Proyek-proyek besar seperti kereta cepat Jakarta–Bandung, pelabuhan, pembangkit listrik, dan berbagai kawasan industri menunjukkan kedalaman keterlibatan Tiongkok di sektor strategis nasional.

Tiongkok bahkan telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia dan investor asing terbesar kedua setelah Singapura (baca juga CNBC Indonesia 29/06/2024). Namun, kehadiran yang kuat ini juga memunculkan kekhawatiran: apakah Indonesia tengah menapaki jalan ketergantungan ekonomi yang sulit dibalikkan?

Pertanyaan tersebut tidak muncul tanpa alasan. Dalam beberapa kasus, proyek kerja sama investasi besar justru menyisakan masalah. Misalnya, keluhan soal kehadiran tenaga kerja asing asal Tiongkok yang dianggap mengurangi kesempatan kerja bagi warga lokal, atau minimnya alih teknologi yang seharusnya menjadi bagian penting dari transfer pengetahuan.

Belum lagi isu utang luar negeri yang kerap disorot dalam proyek-proyek yang didanai skema Belt and Road Initiative (BRI). Kekhawatiran seperti ini jika tidak direspon dengan kebijakan yang jelas dan transparan, akan terus menumpuk menjadi prasangka negatif di masyarakat.

Sayangnya, komunikasi publik dari pemerintah terkait kerja sama dengan Tiongkok masih belum optimal. Penjelasan mengenai skema kerja sama, keuntungan jangka panjang bagi Indonesia, serta aspek keberlanjutan proyek seringkali tidak terpublikasi secara luas. 

Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah pemerintah terlalu “memihak” investor asing tanpa memperhatikan keresahan masyarakat. Padahal, masyarakat berhak tahu dan memahami arah pembangunan nasional serta peran negara-negara mitra di dalamnya.

Momentum 75 tahun ini seharusnya bukan hanya menjadi ajang seremonial, melainkan saat yang tepat untuk menata ulang hubungan bilateral agar lebih setara, inklusif, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Kerja sama yang sehat bukan hanya soal besar investasi, melainkan seberapa luas dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat bawah, peningkatan kapasitas pelaku usaha lokal, serta keberlanjutan lingkungan.

Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap proyek kerja sama luar negeri tidak hanya menguntungkan investor, tapi juga membawa manfaat nyata bagi rakyat. Salah satu jalannya adalah dengan memperkuat regulasi yang mengatur keterlibatan tenaga kerja lokal, transparansi pembiayaan, dan standar lingkungan. 

Pemerintah juga harus memastikan bahwa kerja sama dengan Tiongkok tidak menyingkirkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam negeri. Justru, dalam kerja sama ini harus ada ruang khusus untuk memberdayakan UMKM agar bisa naik kelas, menembus pasar ekspor, dan menjadi mitra aktif dalam rantai pasok global.

Di sisi lain, penting pula memperkuat dimensi hubungan people-to-people antara Indonesia dan Tiongkok. Kerja sama budaya, pendidikan, dan pertukaran pelajar dapat menjadi jembatan penting untuk menumbuhkan saling pengertian antarwarga. 

Selain itu, terkait dengan pemahaman sejarah bersama menjadi penting untuk mengikis prasangka dan membangun kedekatan yang lebih tulus. Hubungan diplomatik yang hanya dibangun di atas transaksi bisnis tanpa memperkuat sisi kemanusiaan akan rapuh ketika diterpa gejolak politik atau ekonomi. 

Dalam konteks ini, pertukaran mahasiswa, kerja sama riset, dan dialog antarkomunitas menjadi investasi jangka panjang yang tak kalah penting dibandingkan proyek infrastruktur fisik.

Perlu disadari pula bahwa Tiongkok bukan satu-satunya mitra yang bisa diajak bekerja sama. Dalam dunia yang semakin multipolar, Indonesia memiliki ruang untuk memperkuat diplomasi ekonomi dengan berbagai negara secara seimbang. 

Diversifikasi mitra strategis sangat penting agar Indonesia tidak terjebak dalam dominasi satu kekuatan besar saja. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperkuat posisi tawar dalam setiap kerja sama, termasuk dengan Tiongkok, agar tidak tergantung tetapi saling menguntungkan.

Sebagai negara yang menganut prinsip politik bebas aktif, Indonesia harus mampu menjaga kemandirian kebijakan luar negerinya. Prinsip ini semestinya juga tercermin dalam kerja sama ekonomi. Jangan sampai semangat pragmatisme jangka pendek mengorbankan kepentingan jangka panjang, apalagi mengabaikan dampak sosial dan ekologis yang bisa muncul di kemudian hari.

Tujuh puluh lima tahun hubungan Indonesia–Tiongkok telah memberikan banyak pelajaran. Ada capaian yang patut diapresiasi, namun juga ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. 

Ke depan, kerja sama ini harus dibangun di atas prinsip keterbukaan, keberlanjutan, dan keberpihakan pada rakyat. Indonesia tidak boleh sekadar menjadi pasar, melainkan harus menjadi mitra yang sejajar berdaulat secara ekonomi, kuat secara sosial, dan cerdas secara diplomatik.

*) Agus Mahfudin Setiawan merupakan pegiat Sejarah & Budaya Lampung sekaligus Dosen Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Intan Lampung 

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Agus Mahfudin Setiawan Indonesia-Tiongkok