Inklusi Gender dalam Film Drama Malaysia "Bidaah"

11 April 2025 08:04 11 Apr 2025 08:04

Thumbnail Inklusi Gender dalam Film Drama Malaysia "Bidaah" Watermark Ketik
Oleh: Raudhatul Adhawiyah Novita Zaini*

Film bukan sekadar hiburan. Ia adalah cermin masyarakat yang merekam dinamika sosial, mempertanyakan norma, dan menjadi alat perlawanan terhadap ketimpangan. 

Salah satu contoh paling mencolok akhir-akhir ini adalah Bidaah, sebuah drama asal Malaysia karya Pali Yahya dari naskahnya karya Eirma Fatima, yang tayang dalam 15 episode.

Dengan latar masyarakat yang religius dan konservatif, Bidaah tampil berani mengangkat tema besar tentang gender, kekuasaan, dan tafsir keagamaan. Judul Bidaah sendiri merujuk pada inovasi dalam agama yang dianggap menyimpang.

Dalam konteks serial ini, kata tersebut menjadi simbol dari pergulatan antara norma agama yang kaku dan upaya individu, khususnya perempuan, untuk merebut kembali hak dan ruang hidup mereka yang telah lama dipinggirkan oleh tafsir patriarkal.

Ketika Agama Dijadikan Alat Kekuasaan

Tokoh sentral dalam serial ini adalah Baiduri, seorang perempuan muda lulusan Mesir yang dipaksa oleh ibunya untuk bergabung dalam sekte agama Jihad Ummah. Sekte ini dipimpin oleh seorang Muhammad Mahdi Ilman yang diberi julukan Walid dan mengaku sebagai Imam Al-Mahdi.

Dengan dalih agama, Walid mempraktikkan ajaran menyimpang seperti "pernikahan batin" yang tidak sah secara hukum dan agama, serta hubungan seksual tanpa pernikahan resmi.

Lebih dari itu, perempuan-perempuan muda dijadikan objek kekuasaan. Mereka dipaksa menikah di usia dini, bahkan diminta menggugurkan kandungan jika hamil dalam "pernikahan batin", dengan alasan kehamilan dianggap merusak kemurnian spiritual. Agama dijadikan tameng untuk menutupi eksploitasi seksual, kekerasan, dan ketidakadilan yang sistematis.

Representasi Gender: Dari Objek ke Subjek

Dalam studi media, representasi gender bukan sekadar soal siapa yang tampil di layar, tapi bagaimana mereka ditampilkan. Selama ini, banyak film memosisikan perempuan sebagai korban pasif atau objek visual belaka. 

Tapi Bidaah memberikan narasi yang berbeda. Baiduri bukan hanya korban. Ia bangkit, mempertanyakan ajaran-ajaran menyimpang, dan membimbing perempuan lain agar berani bersuara.

Ia menolak ritual aneh seperti meminum air bekas mandi Walid atau mencium air basuhan kakinya. Ia menyadarkan para perempuan muda bahwa pelecehan yang mereka alami bukanlah kehendak Tuhan, melainkan kejahatan yang dibungkus atas nama agama .

Di sisi lain, Ummi Hafizah sebagai istri pertama Walid memainkan peran penting dalam melawan ketidakadilan. Alih-alih konfrontatif, ia mengumpulkan bukti dan melaporkan praktik kejam itu ke pihak berwenang. Strateginya sunyi, tapi efektif.

Inklusi Gender dalam Sinema

Inklusi gender dalam film bukan soal jumlah karakter perempuan semata, tetapi apakah mereka punya suara, pilihan, dan daya untuk menentukan nasib sendiri. 

Dalam hal ini, Bidaah menjadi contoh penting dalam lanskap sinema Malaysia. Film ini tidak hanya menampilkan kekerasan terhadap perempuan, tapi juga perjuangan dan keberanian mereka untuk melawan.

Melalui sosok Baiduri dan Ummi Hafizah, film ini menunjukkan bahwa perempuan bukan sekadar simbol kesalehan, tapi juga agen perubahan sosial dan keagamaan. Di akhir cerita, Baiduri digambarkan seperti Nusaibah binti Ka’ab dan Khawla binti Al-Azwar—figur perempuan tangguh dalam sejarah Islam yang dikenal berani membela kebenaran. 

Bidaah bukan film biasa. Ia adalah kritik tajam terhadap tafsir agama yang eksploitatif dan patriarkal, serta seruan agar ruang agama dibuka bagi suara perempuan. Film ini menegaskan bahwa keberagamaan yang sehat seharusnya tidak membungkam nalar kritis, apalagi menindas atas nama Tuhan.

Melalui narasi yang kuat dan karakter perempuan yang berdaya, Bidaah menjadi contoh bagaimana sinema bisa berperan sebagai ruang refleksi sosial sekaligus perlawanan terhadap ketidakadilan gender. 

*) Raudhatul Adhawiyah Novita Zaini merupakan Mahasiswa S2 jurusan Program Magister Kajian Wanita Universitas Brawijaya.

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Bidaah Gender