KETIK, ACEH SINGKIL – PT. Pembangunan Aceh (PEMA), BUMD yang bergerak di sektor energi, industri, perdagangan, dan lingkungan, kembali mengumumkan langkah 'strategis' untuk menggarap potensi karbon di kawasan hutan dan lahan kritis Aceh.
Tak tanggung-tanggung, mereka mengklaim akan mengelola 100 ribu hektare hutan dan mendulang keuntungan hingga Rp3 triliun per tahun. Namun, bagi publik yang paham peta kehutanan Aceh, ini bukan strategi, tapi delusi.
PT. PEMA bahkan menyebut rencana ini sebagai program strategis. Tapi pertanyaan sederhananya dimanakah letak 100 ribu hektare itu?
Muhammad Nur, Direktur Eksekutif Forbina menyebut klaim itu tak lebih dari "cet langet" atau omong kosong belaka, katanya, Rabu, 14 Mei 2025.
“Jangankan 100 ribu, cari 5 ribu hektare hutan yang benar-benar bebas dari kepentingan masyarakat adat, hutan desa, kemitraan, atau izin usaha saja sudah susah. Hutan-hutan itu sudah dibagi habis,” kata Muhammad Nur.
Faktanya, Aceh memiliki 3,5 juta hektare hutan, tapi sudah dibebani oleh berbagai skema. Kawasan Ekosistem Leuser 2,2 juta ha, hutan desa 47.594 ha, hutan adat 105.147 ha.
Sisanya terbagi ke dalam hutan lindung 1,7 juta ha, hutan produksi 711 ribu ha, hutan produksi terbatas 141 ribu ha, dan konversi 1,05 juta ha, termasuk cagar alam, TNGL, tahura, taman buru, dan APL.
Belum lagi ribuan hektare yang telah diubah untuk perkebunan sawit, tambang, hingga proyek energi yang sah secara hukum, jelas Muhammad Nur.
"Lalu dari mana PEMA mau ambil lahannya? Sudahkah mereka duduk bersama dengan Bappeda, DLH, atau para pemilik hak atas hutan dan lahan? atau hanya klaim sepihak yang tidak pernah diverifikasi?” tanya Nur, tajam.
Lebih ironis lagi, wacana bisnis karbon ini bukan barang baru. Sudah diisukan sejak masa Gubernur Irwandi Yusuf Kala itu.
Wacana mengambil bagian dari program karbon Norwegia (REDD+) juga tidak pernah terealisasi. Kini, PEMA kembali muncul dengan dua jalur, melalui BPDLH dan kerja sama dengan pihak swasta.
Tapi sampai sekarang, lanjutnya struktur kelembagaan, aktor bisnis, hingga tenaga ahli kehutanan dan lingkungan hidup di PEMA pun tak jelas batang hidungnya.
Sementara itu, DLH Aceh justru sudah menjalankan Program Kampung Iklim dan berhasil mencairkan dana sebesar USD 1,7 juta atau sekitar Rp27 miliar tahun ini.
Program konkret yang menyentuh masyarakat langsung. Bandingkan dengan PEMA yang hanya menyebar narasi uang triliunan tanpa peta wilayah, data hukum, atau kejelasan teknis.
“Mengklaim Rp3 triliun setahun tanpa dasar yang jelas adalah bentuk penyesatan publik. Ini bukan narasi ekonomi hijau, ini manipulasi harapan rakyat Aceh. Angin semua.” tutup Muhammad Nur. (*)