KETIK, PALEMBANG – Persidangan perkara dugaan korupsi penerbitan Surat Penguasaan Hak (SPH) untuk izin perkebunan kelapa sawit yang merugikan keuangan negara hingga Rp 61 miliar lebih kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang. Kasus ini menyeret lima terdakwa, termasuk mantan Gubernur Bengkulu dan mantan Bupati Musi Rawas, Ridwan Mukti. Kamis 19 Juni 2025.
Agenda sidang kali ini adalah pembacaan nota keberatan atau eksepsi dari dua terdakwa, yakni Bachtiar, mantan Kepala Desa Mulyoharjo (periode 2010–2016), dan Efendi Suryono. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Pitriadi, serta dihadiri Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati Sumsel dan Kejari Musi Rawas.
Dalam eksepsinya, penasihat hukum Bachtiar, Indra Cahaya, mengungkap fakta mengejutkan di hadapan majelis hakim. Ia menyebut kliennya sempat dimintai uang oleh oknum penyidik agar statusnya tidak dinaikkan sebagai tersangka.
“Terdakwa Bachtiar diminta menyediakan uang Rp 750 juta agar tetap menjadi saksi, seperti enam kepala desa lainnya. Namun karena hanya mampu menyerahkan Rp 400 juta, statusnya tetap ditingkatkan sebagai tersangka,” ujar Indra di ruang sidang.
Rinciannya, uang Rp 400 juta itu diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp 100 juta yang diduga diberikan kepada penyidik berinisial KH dan AM bersama tim. Tahap kedua pada bulan Agustus sebesar Rp 300 juta yang disebut diberikan kepada KH dan tim Tipikor, termasuk Balmento dan Deni.
Namun, karena status Bachtiar tetap ditetapkan sebagai tersangka dan ia ditangkap pada 11 Maret 2025, uang tersebut akhirnya dikembalikan. Menurut Indra, pengembalian dilakukan oleh perwakilan penyidik berisial ASP kepada anak Bachtiar, Leo Saputra, pada malam yang sama saat penangkapan.
Indra juga menilai dakwaan JPU cacat prosedur dan hukum, serta meminta majelis hakim membebaskan kliennya dari segala dakwaan dan segera mengeluarkannya dari Rutan Pakjo Palembang.
Sementara itu, Kasi Pidsus Kejari Musi Rawas Imam Murtadlo yang hadir di persidangan menegaskan, eksepsi yang dibacakan hanya berasal dari dua terdakwa. Satu terdakwa lainnya, Saiful Ibna, memutuskan membatalkan eksepsinya saat persidangan berlangsung.
“Eksepsi yang disampaikan menyebutkan dakwaan JPU salah orang, kabur, dan cacat hukum. Tapi kami tetap pada dakwaan. Tanggapan kami akan kami sampaikan secara tertulis dalam sidang lanjutan pekan depan,” ujar Imam.
Sidang ini menjadi perhatian, bukan hanya karena nilai kerugian negara yang besar, namun juga karena dugaan pelanggaran etik dalam proses penyidikan yang kini ikut disorot.(*)