Tradisi 1 Suro di Jawa , Ini Penjelasan Gus Muwafiq di Pacitan

Jurnalis: Al Ahmadi
Editor: Marno

17 Juli 2023 07:38 17 Jul 2023 07:38

Thumbnail Tradisi 1  Suro di Jawa , Ini Penjelasan Gus Muwafiq di Pacitan Watermark Ketik
Gus Muwafiq, tengah mengisi ceramah di Pacitan, Jawa Timur. ( Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)

KETIK, PACITAN – Tradisi masyarakat Jawa menyambut bulan Suro atau 1 Muharam 1445 Hijriyah ini dengan berbagai ritual, ada yang menilai di luar dari nilai dan ajaran agama Islam. Bahan masyarakat menuding ritual ith termasuk musyrik (mempersekutukan Allah). Namun, KH. Ahmad Muwafiq menampik anggapan tersebut, ini penjelasannya.

"Seperti kebiasaannya orang Jawa di bulan suro, ada yang setahun sekali mandi, ada yang kumkum (berendam), di Solo itu kalau 1 Suro ngarak kebo, tainya di maskerkan ke tubuh. ada yang muter benteng (mengelilingi benteng) 7 kali, ngumbah (cuci) keris," ungkap Gus Muwafiq sapaan akrabnya saat mengisi ceramah di Pelabuhan Tamperan Pacitan, Jawa Timur, Minggu, (16/7/2023) malam.

Muwafiq mengatakan, sekarang banyak yang tidak srek (suka), karena tradisinya yang dirasa aneh dan tidak wajar. Bahkan, ungkap Muwafiq, masyarakat banyak yang menyampaikan, bahwa kemusrikan umum terdapat di tradisi pada bulan suro.

"Sedekah laut itu di bulan Suro, festival nelayan, lha niku nopo to sakjane? Macem macem sedoyo niku (Itu apa sebenarnya? Bermacam-macam semua itu)," tanya Muwafiq kepada jemaah.

Gus Muwafiq menjelaskan, bahwa hal itu (tradisi), merupakan wujud keprihatinan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di bulan Suro dahulu. Salah satunya, kedatangan Islam di belahan dunia lainnya, banyak diwarnai dengan pembunuhan, kesedihan, dan kisah pilu yang menimpa para nabi Allah.

"Seperti halnya terbunuhnya Sayidina Husein yang dipenggal kepalanya itu terjadi di bulan suro," pinta Gus Muwafiq

Maka dari itu, tradisi yang menjamur di bulan suro, adalah bentuk sikap prihatin pada masyarakat dengan diwujudkannya menjadi berbagai tradisi. Hal itu sebagai salah satu esensi sebuah peringatan,  di dalamnya terkandung pembelajaran dan nilai-nilai kehidupan dalam Islam.

"Bulan Suro ini adalah bulan duka, mulo teng Solo niku ngetutno kebo, kale taek e diusap usapno, artine ojo dandan, jangan bersolek ini bulan duka (Karena itu di Solo mengikuti kerbau dan mengusapkan tainya ke muka. Artinya tak boleh bersolek pada bulan duka). Di Jogja tradisi muter benteng ora ngomong (Di Yogyakarta ada tradisi mengelilingi benteng), ini maksudnya bulan duka, makane ojo kakean lambe (makanya jangan banyak ngomong)," papar Gus Muwafiq dalam bahasa Jawa.

Tak hanya itu, secara umum meliputi macam-macam tradisi itu tidak menjadi masalah, asalkan tidak menyimpang dari ketauhidan atau menyembah selain Allah (musyrik).

Menurut Gus Muwafiq, sebenarnya dari hal itu, masyarakat malah jadi tidak mudah lupa akan rasa prihatin, Islam sebagai rahmat seluruh alam pun rezeki yang diberikan Allah SWT. Dalam setiap acara tradisi tersebut, jadi sarana masyarakat sekitar mendapatkan pundi-pundi rupiah.

"Karena tradisi-tradisi itu, akhirnya Islam di Indonesia menangnya dijaga oleh masyarakat, dan seperti ini Arab tidak ada. Melalui ini kerukunan daerah terjaga, roda ekonomi juga berputar," ujar Gus Muwafiq.

Bagaimana tidak rukun, yakin Gus Muwafiq, masyarakat yang rutin ikut tradisi kemasyarakatan, jelas akan terhindar dari faham-faham radikalisme. Mereka akan berpikir dua kali untuk melakukan perbuatan-perbuatan menyimpang tersebut, laiknya terorisme.

"Semisal ada masyarakat kecil yang sering ziarah makam sembilan wali. Kemudian orang tersebut diminta untuk ngebom daerah Surabaya, pasti tidak berani karena di sana terdapat makamnya Sunan Ampel," contoh Gus Muwafiq.

Muwafiq menerangkan, bahwa ajaran yang memisahkan budaya masyarakat dan agama, jelas menghasilkan agama berdiri sendiri. Akibatnya, kerukunan dan keharmonisan tidaklah dapat diraih di negara majemuk seperti Indonesia.

"Maka dari itu, memang tidak ada satu pun teroris yang tumbuh dari kehidupan seperti ini, karena apa? karena Islam tumbuh dan dijaga masyarakat," tegas Gus Muwafiq.

Seiring gayung bersambut, salah satu jemaah asal Desa Sambong Indra Hermawan mengaku, sangat menikmati acara tersebut. Ia mengapresiasi kehadiran kiai dari Sleman Yogyakarta itu, apalagi ceramah yang diberikannya cukup diterima di masyarakat sekitar.

Foto Ribuan jamaah, hanyut mengikuti alunan sholawat dalam acara Tabligh Akbar di Pacitan. (Foto: Prokopim Pacitan)Ribuan jamaah, hanyut mengikuti alunan sholawat dalam acara Tabligh Akbar di Pacitan. (Foto: Prokopim Pacitan)

"Senang ikut acara seperti ini, tadi Gus Muwafieq mengajak kita untuk bangga menjadi bangsa Indonesia bahwasanya Indonesia kaya akan alam budaya dan tradisi yang tidak semua bangsa memilikinya," kata Indra Hermawan, saat di lokasi acara.

Acara yang terpusat di area Pelabuhan Tamperan Pacitan itu, dihadiri oleh Bupati Pacitan Indrata Nur Bayu Aji, Ketua DPRD Ronny Wahyono, jajaran Forkopimda, serta ribuan umat muslim dari berbagai wilayah.

Tabligh Akbar tersebut, merupakan rangkaian dari Festival para pencari ikan menyambut 1 Muharam yang digelar oleh Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pacitan.

Sebelum itu, lomba balap jukung dan angkat genset juga telah terlaksana, tertulis di berita sebelumnya. Adapun, beragam kegiatan lain, diantaranya, kembul bujana purak tumpeng, kirab tasyakuran laut, seni reog, bazar semarak suro, bakar ikan gratis dan acara ruwatan, berlangsung sejak Sabtu (15/7/2023), sampai Rabu  (19/7/2023). (*)

Tombol Google News

Tags:

Gus Muwafiq pacitan Tamperan Bupati Pacitan Ketua DPRD Pacitan