KETIK, SURABAYA – Aksi demonstrasi besar yang terjadi di berbagai kota di tanah air beberapa hari terakhir, diwarnai dengan merebaknya tren tanda pagar atau #KaburAjaDulu. Sejumlah pejabat merespon negatif tagar yang digaungkan banyak generasi muda tersebut. Namun analisis berbeda diungkap guru besar Sosiologi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto.
Menurutnya, fenomena ini sebagai bagian dari gerakan yang muncul di era perkembangan masyarakat digital. Melalui #KaburAjaDulu, masyarakat, terutama generasi muda, mengungkapkan keinginan untuk meninggalkan Indonesia demi mencari peluang kerja atau pendidikan yang lebih baik di luar negeri. Tagar ini mencerminkan kekecewaan terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan kurangnya keadilan di dalam negeri.
Bagong menyebut tagar Kabur Aja Dulu disebut sebagai bentuk aksi di dunia maya. Yakni pemanfaatan media sosial oleh masyarakat untuk melakukan aksi dan membangun kesadaran khalayak untuk lebih peduli dengan isu-isu terkini.
“Wacana tagar Kabur Aja Dulu merupakan gerakan yang memang muncul di era perkembangan digital. Mereka memanfaatkan media sosial untuk membangun kesadaran masyarakat untuk mau peduli pada isu-isu politik maupun ekonomi," terangnya pada Senin 24 Februadi 2025.
"Jadi, memang gerakan itu tidak selalu dalam bentuk aksi di jalanan karena dampak dan gaungnya seringkali lebih besar dalam bentuk ajakan-ajakan di ruang publik,” imbuh pakar Sosiologi Ekonomi ini.
Banyak yang mengaitkan tren ini dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Bagong menjelaskan bahwa setiap gerakan pasti memiliki latar belakang yang kuat. Biasanya berupa kekecewaan terhadap kinerja pemerintah, tindakan aparat, atau penyimpangan kekuasaan.
Saat ini, masyarakat sedang menantikan kontinuitas dari pemerintahan Prabowo dalam seratus hari pertamanya. Mereka menyoroti kebijakan seperti program makan siang gratis yang dianggap membutuhkan dana besar, sementara di sisi lain terjadi efisiensi anggaran pada beberapa sektor.
“Selama ini fokus pemerintah kelihatannya pada program makan siang gratis sementara publik menilai ada yang tidak konsisten," terangnya.
"Misalnya ketika makan siang gratis diperjuangkan habis-habisan membutuhkan dana yang besar. Tujuannya supaya memastikan kualitas hidup generasi muda sekarang. Tapi di saat yang sama ada ketidakjelasan soal tawaran beasiswa dan efisiensi anggaran yang kemudian memunculkan inkonsistensi dalam sikap pemerintah,” lanjut Bagong.
Ketidakjelasan dalam transparansi anggaran memunculkan spekulasi di masyarakat bahwa kondisi keuangan negara sedang bermasalah. Hal itu ditunjukkan dengan kebijakan pajak yang lebih besar kepada masyarakat.
Di saat yang sama pula terdapat indikasi bahwa keuangan negara tidak dalam kondisi baik. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana dana tersebut digunakan.
“Publik berharap ada transparansi, alasan efisiensi harusnya ada kejelasan akan dipergunakan untuk apa. Sebagian masyarakat ini membaca ada indikasi masalah pada keuangan negara. Kesimpulan akhirnya mereka merasa sedang tidak baik-baik saja di nasional. Sehingga memutuskan kabur saja dulu mencari kehidupan di luar, pekerjaan di luar, masa depan di luar,” ujar pria yang juga Dekan FISIP Unair.
Di tengah keresahan publik, muncul narasi "kabur aja dulu" yang merefleksikan kegundahan publik dan ekspresi ketidakpercayaan terhadap masa depan di dalam negeri.
Namun, Bagong menilai kondisi di luar negeri pun tidak lebih mudah. Karena itu, tren ini seharusnya tidak hanya dipandang sebagai dorongan untuk benar-benar meninggalkan Indonesia, melainkan sebagai kritik dan masukan bagi pemerintah.
Bagong menyarankan agar pemerintah lebih terbuka terhadap kritik publik dan segera mengambil langkah perbaikan.
Salah satu bentuk respon yang dapat diambil adalah dengan melakukan reshuffle kabinet agar pemerintahan dapat berjalan lebih efektif.
Selain itu, diperlukan komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat melalui counter-diskursus yang mampu menenangkan kegelisahan publik.
“Pemerintah harus menerima itu sebagai masukan dan kemudian memperbaiki diri. Misalnya dengan melakukan reshuffle kabinet karena memang keprihatinan itu jadi bagian dari pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik. Ini kan kegundahan, wacana, dan diskursus. Jawabannya tentu dengan counter discourse yang bisa menenangkan hati masyarakat,” pungkas Bagong. (*)