KETIK, BLITAR – Kabut pagi yang lembut menyelimuti Kompleks Makam Bung Karno di Blitar, ketika langkah-langkah para peziarah mulai memasuki kawasan bersejarah itu. Di bawah pendapa joglo yang anggun, berpilar kokoh dan beratap ukiran Jawa yang sarat makna, doa-doa lirih mengalun dalam suasana khidmat. Jumat pagi 20 Juni 2025, bangsa ini kembali menyapa sosok yang tak lekang oleh zaman: Ir. Soekarno, proklamator kemerdekaan, Presiden pertama Republik Indonesia.
Ziarah nasional dalam rangka memperingati haul Bung Karno tahun ini dipimpin langsung oleh Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) RI, Prof. Yudian Wahyudi, didampingi Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin atau yang lebih dikenal sebagai Mas Ibin. Prosesi berlangsung sederhana namun penuh makna, bukan sekadar penghormatan simbolik, melainkan ritual spiritual yang menghubungkan generasi kini dengan ruh perjuangan masa lalu.
“Ziarah ini pada dasarnya adalah silaturahmi, mendoakan, dan bersyukur. Terutama untuk Bung Karno, karena beliau adalah proklamator. Jangan pernah menganggap orang yang mati di jalan Tuhan itu mati. Mereka hidup, bahkan diberi rezeki oleh Tuhan,” ujar Yudian usai prosesi ziarah, seraya menatap nisan hitam yang terpahat kutipan pidato Bung Karno.
Menurut Yudian, Bung Karno mungkin telah tiada secara fisik, namun gagasan, semangat, dan perjuangannya tetap hidup memandu arah bangsa hingga hari ini. Ia menekankan bahwa mengenang Bung Karno bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang merawat api ideologi Pancasila agar tak pernah padam dalam denyut kehidupan berbangsa.
“Secara biologis beliau sudah wafat, tapi secara spiritual, pemikiran dan perjuangannya tetap hidup. Bahkan ziarah ini punya dampak nyata bagi masyarakat sekitar UMKM bergerak, ekonomi rakyat berdenyut. Dalam makna sederhana, Bung Karno masih menghidupi yang hidup,” kata Yudian, sembari menunjuk aktivitas pedagang kecil yang meramaikan kawasan makam.
Ia juga menyampaikan bahwa Bung Karno adalah contoh nyata pemimpin yang mampu menjahit nilai-nilai kebhinekaan dan spiritualitas ke dalam fondasi negara. Akar pemikiran itu, lanjut Yudian, tumbuh sejak Bung Karno diasingkan di Ende dan menerima kiriman buku-buku keislaman dari tokoh Persatuan Islam, Ahmad Hasan.
“Di Ende, Bung Karno banyak merenung. Dari situlah muncul gagasan untuk kembali ke Alquran, Hadits, dan ilmu pengetahuan. Beliau mengintegrasikan nilai agama, nasionalisme, dan rasionalitas sebagai fondasi Indonesia merdeka,” terang Yudian.
Wali Kota Blitar, Mas Ibin, mengungkapkan bahwa kegiatan ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap Bung Karno, melainkan juga momentum penting untuk menyuburkan kembali semangat nasionalisme dari akar sejarah.
“Ziarah ini bukan hanya ritual seremonial, tapi bentuk konkret merawat ingatan kolektif bangsa. Bung Karno bukan milik Blitar semata, beliau milik seluruh rakyat Indonesia. Dari sini kita belajar tentang keteladanan, semangat juang, dan nilai-nilai kebangsaan,” ujar Mas Ibin.
Ia menegaskan bahwa Pemerintah Kota Blitar terus berkomitmen menjaga kompleks makam sebagai ruang publik yang tidak hanya berfungsi sebagai situs sejarah, tetapi juga sebagai pusat edukasi kebangsaan yang membumi. Berbagai kegiatan yang digelar setiap Juni dikenal sebagai Bulan Bung Karno dirancang untuk menanamkan nilai Pancasila dalam tindakan nyata.
Kegiatan ini juga menjadi simbol kuat dari sinergi antara pemerintah pusat melalui BPIP dan pemerintah daerah dalam menjaga warisan ideologis bangsa. Kolaborasi tersebut diharapkan dapat menjadikan situs makam Bung Karno sebagai episentrum semangat nasionalisme yang terus menyala.
“Kolaborasi ini penting agar warisan ideologis Bung Karno tidak hanya dikenang, tapi dijadikan panduan dalam membangun Indonesia ke depan,” pungkas Yudian.
Di akhir prosesi, Yudian dan Mas Ibin berdiri berdampingan, membungkukkan badan dengan hormat di hadapan nisan Bung Karno. Isyarat sunyi yang memuat pesan mendalam: bahwa perjuangan Bung Karno tidak terkubur di tanah, tetapi hidup dalam cita-cita bangsa, dalam langkah pemimpin, dan dalam harapan rakyat yang tak pernah padam. (*)