KETIK, JAKARTA – Rilis resmi Bank Dunia alias World Bank menyebut angka kemiskinan Indonesia mencapai 60,3%. Ini berbeda dengan milik Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebesar 8,57%.
Menanggapi itu, BPS bukan suara. Mereka menyebut perbedaan timbul karena kedua lembaga menerapkan standar garis kemiskinan berbeda.
"Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar. Penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan," tulis BPS dalam keterangan resmi (3/5/2025).
Metode Bank Dunia
World Bank disebut memiliki 3 standar garis kemiskinan untuk membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yakni garis kemiskinan ekstrem senilai US$2,15 per kapita per hari, garis kemiskinan negara berpendapatan menengah bawah senilai US$3,65 per kapita per hari, dan garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas senilai US$6,85 per kapita per hari.
Ketiga standar garis kemiskinan tersebut dikonversi menggunakan metode purchasing power parity (PPP), yakni metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Pada 2024, US$1 PPP setara dengan Rp5.993,03.
Lantaran Indonesia baru saja diklasifikasi sebagai negara berpendapatan menengah atas, angka kemiskinan di Indonesia diukur menggunakan garis kemiskinan US$6,85, bukan US$3,65. Akibatnya, angka kemiskinan di Indonesia menurut World Bank melonjak menjadi sebesar 60,3%.
Metode BPS
Berbeda dengan World Bank, BPS menetapkan garis kemiskinan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau cost of basic needs. Garis kemiskinan menurut BPS adalah senilai pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan makanan dan selain makanan.
Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita telah ditetapkan senilai Rp595.242 per kapita per bulan atau Rp2,8 juta per rumah tangga per bulan. Garis kemiskinan juga ditetapkan berbeda-beda setiap provinsi. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pun mengatakan World Bank telah menganjurkan setiap negara untuk menetapkan garis kemiskinan nasionalnya sendiri sejalan dengan kondisi sosial dan ekonomi setempat.
"Global poverty line yang ditetapkan oleh World Bank itu tidak sekonyong-konyong harus diterapkan oleh masing-masing negara karena secara bijak tentunya masing-masing negara itu harus bisa memiliki national poverty line yang diukur sesuai dengan keunikan maupun karakteristik dari negara tersebut," jelas Amalia.
Amalia menekankan angka kemiskinan dari World Bank seyogianya dijadikan sebagai referensi semata, bukan acuan utama dalam menentukan kebijakan nasional. (*)