Cerita Tukang Becak Pacitan, Ngaku Seminggu Lebih Tak Dapat Orderan

8 Maret 2025 17:46 8 Mar 2025 17:46

Thumbnail Cerita Tukang Becak Pacitan, Ngaku Seminggu Lebih Tak Dapat Orderan Watermark Ketik
Ruslani dan tukang becak lainnya menunggu jasanya dipakai penumpang di Pinggir Jalan Ahmad Yani Pacitan, Sabtu, 8 Maret 2025. (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)

KETIK, PACITAN – Sore ini, Ruslani (68) asal Kelurahan Pacitan tampak termenung di atas becaknya yang terparkir di pinggir Jalan Ahmad Yani, Alun-alun Kota.

Tangannya yang kasar menggenggam setang becak dengan erat, sementara tatapannya kosong menatap jalanan yang ramai.

Ada pedagang, pengendara hingga pejalan kaki yang lalu lalang menjelang waktu berbuka puasa.

Setiap hari, ia menunggu di tempat yang sama, berharap ada penumpang yang membutuhkan jasanya.

Namun dunia sudah jauh berbeda, tukang becak kini dipandang seolah tiada. Ruslani pun mengaku, sepekan lebih dirinya mangkal, satupun penumpang tak pernah nyantol.

"Jangankan lima hari, kalau dihitung seminggu saja bisa lebih ngga dapat penumpang. Ramadan memang ramai, tapi penumpang sepi mas," keluhnya kepada Ketik.co.id, Sabtu, 8 Maret 2025.

Ruslani sudah menarik becak sejak tahun 1994, dan ia merasakan betul perubahan yang terjadi.

Dahulu, becak masih menjadi pilihan banyak orang, terutama wisatawan dan warga yang hendak berbelanja.

Namun, kini hampir semua orang sudah memiliki kendaraan sendiri, dan ojek online semakin mendominasi. 

Becak kayuh seperti miliknya perlahan-lahan tergeser, menjadi sekadar peninggalan zaman.

Foto p

Tak hanya kehilangan penumpang, Ruslani juga harus berjuang untuk menghidupi keluarganya di tengah harga kebutuhan pokok yang terus melonjak.

Setiap hari, ia menelan rasa pahit karena penghasilannya yang semakin tidak menentu.

Sesekali, ia terpaksa menjadi kuli demi membawa pulang uang untuk makan.

"Kadang juga bantu bersihkan rumput, atau apa saja. Yang penting bisa dapat rezeki ," ucapnya ayah anak satu itu.

Di sudut lain kota, Jumiat (50), tukang becak motor asal Desa Menadi yang biasa mangkal di Pasar Arjowinangun Pacitan, juga menghadapi nasib serupa.

Tubuhnya yang mulai renta tak menyurutkan semangatnya untuk bertahan hidup. Serupa, menarik becak saja tak cukup.

Untuk bisa makan sehari-hari, Jumiat juga mengumpulkan kekuatan menjadi kuli panggul para pedagang pasar.

"Hari-hari sepi juga, kalau tidak disambi nguli ya ngga dapat apa-apa," ungkapnya sambil menunggu penumpang di pinggir jalan.

Kendati begitu asa masih tetap menyala, Jumiat meyakini Ramadan adalah bulan yang penuh berkah.

Ia bercerita, para tukang becak biasanya mendapat undangan dari pendopo bupati untuk menerima bantuan berupa amplop berisi uang.

Meski jumlahnya tak seberapa, setidaknya cukup untuk sedikit meringankan beban mereka.

"Biasanya bulan puasa tukang becak dikasih amplop, disuruh mengambil. Mudah-mudahan tahun ini tukang becak juga dikasih sebagaimana tradisi yang dilakukan Ramadan sebelumnya," ujarnya penuh harap.

Di balik kayuhan becak mereka, ada kisah perjuangan yang sering luput dari perhatian. Ruslani dan Jumiat hanyalah dua dari sekian banyak tukang becak yang masih bertahan di tengah zaman yang semakin modern.

Mereka tidak meminta banyak, hanya ingin tetap dihargai, didengar, dan diberi kesempatan untuk hidup layak. Namun, di tengah kerasnya kehidupan, harapan itu seakan terus diuji. (*)

Tombol Google News

Tags:

pacitan Tukang Becak #ngetik