PO AKAS: Tiga Nama, Satu Sejarah (Bagian 2-Bersambung)

Dari Kayu ke Digital: Evolusi Bisnis Perusahaan Bus Keluarga

18 Juni 2025 05:30 18 Jun 2025 05:30

Thumbnail Dari Kayu ke Digital: Evolusi Bisnis Perusahaan Bus Keluarga
Armada Bus PT Akas Mila Sejahtera, bersiap menjelajah jalur Pantura. (Foto: Eko Hardianto/ Ketik)

KETIK, PROBOLINGGO – Transformasi besar dalam tubuh AKAS tidak berhenti pada perubahan status hukum menjadi PT. Salah satu cabang penting dalam jaringan perusahaan ini adalah AKAS 4, yang kemudian berubah nama menjadi AKAS Mila Sejahtera (AMS).

Pagi itu, sekitar pukul 07.15 WIB, garasi utama AKAS 4 di Jalan Panglima Sudirman No. 255, Kelurahan Jati, Kota Probolinggo, tampak hidup. Puluhan armada bus berjajar rapi. Sebagian bersiap untuk berangkat, sementara lainnya menjalani pemeriksaan rutin. Di balik kokohnya bodi-bodi bus itu, tersimpan sejarah panjang dan dinamika perusahaan yang membentuk wajah transportasi darat di Jawa Timur.

Di tengah kesibukan kru dan deru mesin yang meraung, tampak seorang pria berdiri tenang. Ia adalah Hardian Prayoga, atau biasa disapa Yoga, Direktur AKAS Mila Sejahtera (AMS), generasi keempat dari trah pendiri PO AKAS Group.

Sejak tahun 2015, AKAS 4 secara resmi berganti nama menjadi AKAS Mila Sejahtera (AMS). Langkah itu merupakan hasil akuisisi strategis pada 2008. Ketika AKAS 4 membeli sekitar 50 unit bus reguler dan 15 unit bus pariwisata dari PO MILA, divisi usaha yang sebelumnya berada di bawah naungan AKAS 2.

Keputusan tersebut bukan semata strategi bisnis, melainkan bagian dari upaya mempertahankan warisan keluarga. Meskipun struktur kepemilikan (persero) mengalami perubahan, jiwa dan kendali perusahaan tetap dipegang keluarga besar AKAS. Edy Haryadi, Direktur Utama AKAS 4, menugaskan putra sulungnya, Yoga, untuk memimpin AMS, sementara putra keduanya, Zendi Hardianto, mengelola divisi lain dalam grup.

“Dulu, masuk AKAS itu harus siap ngebut, siap balapan di jalan,” kata Yoga saat dijumpai ketik.co.id, Selasa 17 Juni 2025, di garasi AMS sambil tersenyum. “Sekarang sudah berbeda. Yang utama adalah keselamatan dan kenyamanan penumpang,” sambungnya. 

Saat menerima ketik.co.id Yoga, memang bersemangat berkisah tentang AMS. Ia enggan membahas klaim Rudi Yahyanto, pimpinan AKAS 3, yang menyatakan tak pernah dilibatkan lagi dalam pembahasan AKAS grup sejak 2012. 

“Soal klaim Om Rudi, biar bapak (Edy Haryadi, red) sendiri saja yang menjelaskan. Nanti lah anda bisa ngobrol sama bapak. Kalau hari ini bapak memang ada di Surabaya. Om Rudi, saudara bapak. Dan setahu saya masing-masing pemimpin divisi AKAS 1 sampai 4 punya dapur sendiri-sendiri,” tuturnya. 

Lahir tahun 1981, Yoga bukanlah orang asing di dunia permesinan. Sejak kecil, ia akrab dengan dunia otomotif. Dari sepeda motor hingga kendaraan berat. Ia tumbuh dalam kerajaan AKAS yang dimulai dari bengkel kecil, menyulap truk menjadi bus.

“Saya nggak bisa dikadalin soal mesin bus. Zaman dulu saya ngejar oli yang menetes pakai mata telanjang. Sekarang tinggal colok kabel, keluar semua grafiknya,” ujar Yoga, sambil tertawa lepas.

Transformasi AKAS Mila Sejahtera dimulai bukan dari pergantian armada. Tetapi dari perubahan mentalitas. Budaya "kecepatan adalah kebanggaan" yang dahulu melekat kuat, kini digantikan dengan pendekatan berbasis keselamatan dan profesionalisme.

Melalui sistem GPS dan pengawasan digital, perilaku sopir dipantau secara real time. Data kecepatan menjadi indikator kinerja yang menentukan skema pembagian hasil. “Siapa yang nyetirnya baik, tidak ugal-ugalan, akan dihargai. Jadi sekarang bukan lagi balapan adu cepat, tapi adu disiplin,” terang Yoga.

AMS juga memberlakukan pendekatan humanis terhadap para kru. Sopir senior yang usianya tidak lagi muda, tidak dipaksakan menjalani rute panjang atau perjalanan malam. Sebaliknya, kru muda diberi tanggung jawab lebih besar. “Ini pengelolaan SDM dengan pendekatan usia dan tenaga,” ujar Yoga.

Sistem penggajian berbasis bagi hasil tetap dipertahankan. Tak ada setoran tetap yang memberatkan awak bus. Menurut Yoga, hal itu bentuk penghargaan terhadap kerja keras sopir dan kondektur. “Kami tidak membunuh warisan, kami memanusiakannya,” tegasnya.

Sejak 2021, AMS memperkenalkan sistem e-ticketing. Inovasi ini bukan hanya mencegah manipulasi tiket oleh kondektur. Tetapi juga memudahkan pelacakan penumpang dan transparansi pendapatan. Transformasi digital ini menjadi tonggak penting dalam modernisasi manajemen AMS.

Namun demikian, tidak semua usaha berjalan mulus. Tantangan besar datang dari sisi investasi armada. Jika pada 2003 harga satu unit bus sekitar Rp 500 juta, kini spesifikasi serupa bisa tembus Rp1,5 miliar. Belum lagi regulasi yang membatasi usia operasional bus reguler hingga 25 tahun dan bus pariwisata hingga 15 tahun. Di atas itu, kendaraan harus dipensiunkan. “Kalau sudah expired ya harus dijual. Tidak bisa kompromi,” terang Yoga.

Pandemi COVID-19 juga memberi tekanan besar pada usahanya. Saat itu okupansi penumpang merosot tajam. Belum lagi soal persaingan dengan kereta api dan angkutan travel ilegal, yang semakin agresif. Tentu saja, kata Yoga, pengguna bus semakin tergerus. Namun AMS tak menyerah. Di bawah kendali Yoga, perusahaan melakukan diversifikasi usaha ke sektor perhotelan.

Tiga hotel kini berdiri atas nama AMS, masing-masing di Jalan Panglima Sudirman, Sukapura, dan Bremi. “Ketika roda bus melambat, hotel jadi tabung oksigen kami,” ujar Yoga setengah berkelakar.

Sementara itu, kecelakaan lalu lintas tetap menjadi momok. Namun Yoga menegaskan, AMS tetap bertanggung jawab secara penuh dalam setiap insiden. “Supaya kru tidak merasa sendirian ketika menghadapi proses hukum. Semua biaya kami ambil alih,” ujarnya.

Kini, AMS mempekerjakan sekitar 700 orang, jumlah tertinggi sepanjang sejarah berdirinya divisi AKAS 4 atau AMS. Tak hanya itu perusahaan juga menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan (SMK) yang disertifikasi Kementerian Perhubungan. Karenanya pemeriksaan kendaraan dan penggantian suku cadang dilakukan rutin tiap enam bulan menjamin kelayakan armada.

Bagi Yoga, mempertahankan kejayaan bukan hanya urusan menjaga nama besar, tetapi juga menyempurnakan warisan. Ia mengutip pesan ayahnya, Edy Haryadi, yang selalu ia pegang teguh. “Kalau kamu jadi pengusaha, ya semua harus diusahakan.” kutip dia. 

Petuah itu bukan sekadar nasihat bisnis, tetapi filosofi hidup. Bahwa menjalankan usaha keluarga bukan semata tentang laba dan rugi, tetapi tentang tanggung jawab kepada sejarah, pada masa kini, dan kepada generasi mendatang. “Termasuk kepada setiap penumpang yang mempercayakan keselamatannya pada armada bernama AKAS,” tutupnya. (Bersambung)*

Tombol Google News

Tags:

probolinggo AKAS GRUP PO AKAS BUS AKAS PROBOLINGGO