KETIK, SIDOARJO – Paradigma baru tentang penerapan hukum acara pidana menjadi bahasan hangat di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida). Dalam Seminar Nasional Kajian Ilmu Kepolisian di Umsida pada Senin (21 April 2025), Guru Besar FH Ubhara Prof Sadjijono menyoroti RKUHAP versi terbaru. Ada perubahan signifikan.
Seminar Nasional Kajian Ilmu Kepolisian itu menghadirkan empat narasumber. Masing-masing Prof Sadjijono (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara atau Ubhara) Surabaya bersama Dr Radian Salman dan Dr Prawitra Thalib serta Rifqi Ridlo Pahlevi (direktur LKBH Umsida).
Seminar nasional bertema ”Pembaharuan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia.”
Prof Sadjijono menyoroti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) versi terbaru. Dalam paparannya, Prof Sadjijono menyampaikan hasil kajian terhadap tiga versi RKUHAP. Yaitu, RKUHAP versi 2023, RKUHAP versi Februari 2025, dan RKUHAP versi terakhir, 3 Maret 2025.
”Telah terjadi perubahan signifikan dari satu versi ke versi lainnya,” kata Prof Sadjijono.
Rekomendasi-rekomendasi narasumber sebagai hasil Seminar Nasional Kajian Ilmu Kepolisian di Umsida tentang RKUHA. (Dokumen Ketik.co.id)
Perubahan apa yang dinilai signifikan tersebut? Prof Sadjijono menyebutkan, salah satu yang menjadi sorotan utamanya adalah peran Kejaksaan. Peran Korp Adhiyaksa itu sebelumnya dianggap dominan dalam perkara pidana (dominus litis). Namun, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (RKUHAP) versi terbaru, peran Kejaksaan sebagai ”penguasa perkara” dihilangkan.
”Dalam rancangan ini, tampak kesan sebelumnya bahwa Kejaksaan menjadi penguasa perkara. Itu dihilangkan,” ujar Prof Sadjijono di hadapan peserta seminar bidang hukum tersebut.
Selain tentang peran Kejaksaan, Prof Sadjijono juga menyoroti aspek diferensiasi fungsional (pemisahan tugas dan fungsi). Aspek tersebut dianggap belum terefleksikan dalam rancangan RKUHAP Tahun 2023. Salah satu sorotan Prof Sadjijono mengarah pada penghapusan praperadilan.
”(RKUHAP Tahun 2023) tidak lagi menguji sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum (praperadilan), tapi ada pemeriksaan pendahuluan,” terangnya.
Nah, dalam perubahan terbaru versi RKHUAP per 3 Maret 2025, praperadilan telah dikembalikan meskipun ada catatan substansial yang masih menimbulkan perdebatan.
Dalam pandangan Prof Sadjijono, kelemahan dalam versi terbaru terletak pada ketentuan terhadap putusan praperadilan mengenai upaya paksa. Upaya paksa tidak dapat lagi diajukan banding. Sementara itu, untuk perkara penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan masih dimungkinkan adanya upaya banding.
”Ini perlu menjadi perhatian. Ada ketimpangan dalam perlakuan hukum terhadap jenis putusan praperadilan,” ungkapnya.
Di akhir pendapatnya, Prof Sadjijono mengimbau dengan tegas terkait pentingnya pengawasan dalam implementasi RKUHAP apabila nantinya disahkan menjadi undang-undang.
Dia menekankan bahwa penerapan konsep diferensiasi fungsional harus dikawal secara ketat oleh pengawas independen. Pengawasan itu penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Mengingat, rencana RKUHAP akan dipergunakan pada 1 Januari 2026.
Prof Sadjijono menyatakan terus terang sangat mengkhawatirkan munculnya abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh aparat penegak hukum. Khususnya Kejaksaan.
”Maka dari itu, perlu ada pengawasan yang sungguh-sungguh terhadap implementasi RKUHAP nanti,” pungkas Prof Sadjijono. (*)