KETIK, SAMPANG – Ibadah haji adalah salah satu momen paling sakral bagi umat Muslim di Indonesia, sebuah perjalanan spiritual yang penuh makna dan kebahagiaan. Namun, kebahagiaan itu tampaknya tercoreng dengan serangkaian peristiwa yang mengundang keprihatinan dalam pelaksanaan haji 2025 ini.
Insiden di Muzdalifah dan Arafah menjadi sorotan tajam, memperlihatkan bahwa ada banyak hal yang harus dievaluasi, khususnya kesiapan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dalam mengelola ibadah haji.
Fadlun Duifa, Jemaah Haji 2025 asal Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur, berbagi kesan mengenai pelaksanaan haji kali ini.
"Sangat membahagiakan bisa menunaikan ibadah haji, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama soal kondisi di Muzdalifah," ujarnya kepada Ketik.co.id, Selasa, 10 Juni 2025.
Muzdalifah dan Arafah: Tanda Kegagalan Manajerial.
Salah satu momen yang sangat memprihatinkan adalah insiden yang terjadi di Muzdalifah. Sejumlah jemaah haji 2025 terjebak dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi, berdesakan dan berebut untuk memasuki tempat penampungan. Kejadian ini mengungkapkan betapa buruknya manajemen di lapangan.
Fadlun juga menyoroti keterlambatan kedatangan bus yang seharusnya membawa jemaah dari Muzdalifah menuju Mina. Akibatnya, banyak jemaah yang terpaksa berjalan kaki di tengah terik panas, bahkan sempat menjadi viral di media sosial.
“Bus yang terlambat datang membuat banyak jamaah akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina. Itu situasi yang sangat tidak ideal dan sempat menjadi viral,” kata Fadlun, dengan nada kecewa atas kelalaian dalam koordinasi transportasi haji.
Keputusan untuk berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina, yang seharusnya ditempuh dengan kendaraan, menggambarkan ketidakmampuan Pemerintah Indonesia khususnya Kemenag RI dan penyelenggara haji dalam memastikan transportasi yang lancar dan aman. Kejadian ini mencoreng wajah pelaksanaan ibadah haji yang sejatinya menjadi puncak ibadah bagi umat Muslim Indonesia.
Pemerintah Harus Lebih Tegas dan Tanggap.
Fadlun pun menegaskan pentingnya evaluasi dan langkah tegas dari pemerintah Indonesia. Ia menyarankan agar Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam kerjasama dengan Pemerintah Arab Saudi, agar kejadian seperti yang terjadi di Muzdalifah dan Arafah tidak terulang di masa mendatang.
Menurutnya, penyebab utama dari masalah ini adalah kurangnya komunikasi dan koordinasi antara kedua negara, yang seharusnya sudah diperbaiki sejak lama.
“Harapan kami, pemerintah Indonesia bisa memiliki posisi tawar yang lebih baik dalam kerjasama dengan Arab Saudi, agar insiden seperti ini tidak terulang lagi,” tambahnya dengan penuh harapan.
Jemaah Haji Menunggu Perhatian Pemerintah Indonesia.
Sebagai penutup, Fadlun mengingatkan para jemaah haji untuk tetap bersabar dan berdoa agar segala kekurangan dapat diperbaiki.
“Kami semua dijadwalkan untuk kembali ke tanah air pada tanggal 18 Juni 2025. Semoga ke depannya, pemerintah Indonesia melalui Kemenag RI lebih memperhatikan hal-hal seperti ini agar jemaah haji dapat menunaikan ibadahnya dengan aman dan nyaman,” ujar Fadlun.
Peristiwa yang terjadi di Muzdalifah dan Arafah menambah panjang catatan masalah dalam pelaksanaan ibadah haji yang harus dihadapi oleh pemerintah. Dari masalah transportasi yang buruk hingga fasilitas yang tidak memadai, semua ini menunjukkan bahwa pemerintah dan Kementerian Agama RI perlu introspeksi dan segera melakukan perbaikan yang nyata. Jika tidak, potensi terulangnya insiden serupa akan merugikan banyak jemaah, sekaligus merusak kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan ibadah haji di masa yang akan datang.
Ibadah haji adalah momen yang seharusnya menggambarkan kesempurnaan ibadah dan pelayanan. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas untuk memastikan bahwa setiap jemaah haji dapat menunaikan ibadah dengan nyaman, aman, dan penuh berkah, tanpa terhalang oleh kelalaian dan kekurangan yang seharusnya bisa dihindari.(*)