IQ dan Dekolonisasi Kecerdasan Lokal

10 Mei 2025 10:27 10 Mei 2025 10:27

Thumbnail IQ dan Dekolonisasi Kecerdasan Lokal
Oleh: Aldi Hidayat*

World Population Review pada 2023 melaporkan peringkat Intelligence Quotient (IQ) negara-negara yang tergabung dalam G-20. Indonesia menduduki peringkat ke-16 dengan skor 78,49, satu tingkat di atas Arab Saudi (76,36) dan di bawah Brazil (83,38). 

IQ menunjukkan kecakapan seseorang dalam bidang linguistik dan logis-matematis. Karenanya, sistem pendidikan bangsa menggembleng peserta didik dengan tiga kemampuan dasar, yaitu membaca, menghitung, menulis dan berbahasa (selanjutnya disingkat 3M1B).

Tes IQ pertama kali dicetuskan oleh Alfred Binet, psikolog Prancis pada 1911. Semula, tes–sebagai satuan nilai dalam menakar kecerdasan seseorang atas informasi lingkungan sekitar–berfungsi sebagai prasyarat rekrutmen militer. Tes ini kemudian diaplikasikan ke berbagai bidang hingga kini menjadi standar kecerdasan negara-negara dunia.

Distopia IQ 

Generalisasi tes ini sebagai tolok ukur kecerdasan memunculkan sebentuk kolonisasi kecerdasan. Sebab, pemangkasan cakrawala kecerdasan pada ranah logis-matematis dan linguistik menafikan model-model kecerdasan lainnya. 

Merujuk analisa Yasraf Piliang dan Audifax dalam Kecerdasan Semiotik: Melampaui Dialektika dan Fenomena, IQ menjelma rerata kultural (cultural quotient). Rerata kultural adalah standar intersubjektivitas yang mempersuasi dan merepresi individu mengenai tolok ukur kelayakan dalam suatu kelompok. 

Rerata kultural memunculkan dua konsekuensi, gerak ke atas dan gerak ke bawah. Dengan kata lain, peserta didik dituntut memenuhi standar 3M1B. Peserta didik yang mengungguli rerata akan menjadi juara dan jawara (excellent). Sebaliknya, peserta didik yang gagal memenuhi standar akan terpental dari rerata.

Rerata kultural dunia pendidikan akan berefek sistemik pada sektor-sektor lain. Keunggulan IQ mengundang pengakuan sosial yang sejauh ini "disalahpahami" sebagai modal untuk bidang-bidang lainnya. 

Kecenderungan mengangkat orang pintar (secara IQ) menjadi ketua, kepala, direktur dan koordinator adalah contohnya. IQ tidak berhubungan langsung dengan kecakapan menjadi pemimpin, sebab kepemimpinan butuh kecerdasan lain, yakni interpersonal.

Di sisi lain, pihak yang terpental dari rerata kultural IQ sering dipandang sebelah mata, sehingga tidak jarang mensubordinasi mereka secara sosial. Paradoksnya, kerap dijumpai orang sukses di suatu bidang ternyata tidak unggul dalam dunia akademis yang notabene berbasis IQ.

Pada saat yang sama, pihak yang unggul IQ-nya acapkali meraih capaian medioker pasca lulus dari pendidikan. Itu artinya terdapat miskonsepsi mengenai rancang-bangun masa depan dalam kaitannya dengan standar dunia pendidikan.

Dekolonisasi Kecerdasan

Sanggahan akan kredibilitas IQ sudah marak dilayangkan, namun sayangnya belum menghasilkan solusi sistemik dalam menggeser posisi IQ sebagai standar. Howard Gardner, professor pendidikan Universitas Harvard, mengembangkan Multiple Intelligence. Dia menemukan IQ hanya merambah dua bagian saja dari sembilan kecerdasan.

Tujuh sisanya antara lain visual-spasial (kecerdasan imajinatif dan kreatif seperti pada seniman), kinestetik (kecerdasan menggerakkan anggota tubuh seperti pada altet dan olahragawan), serta musikal (menyangkut tarik suara dan kepiawaian memainkan alat musik).

Kemudian intrapersonal (kecerdasan menstabilkan emosi, hasrat dan perasaan), interpersonal (kecerdasan bersosial seperti pada pebisnis dan pimpinan), naturalis (kepekaan terhadap alam, seperti pada tukang pijat tradisional, petani dan nelayan) dan spiritual (seperti pada agamawan, sufi, pendeta, brahma).

Tujuh kecerdasan sisanya kendati mulai jamak disadari, namun belum menemukan langkah solutif. Dengan kata lain, belum ditemukan resep sistemik dalam mengembangkan tujuh kecerdasan sisanya secara egaliter. IQ masih menjadi primadona dalam sistem pendidikan, betapa pun kurikulum negeri ini mengalami perubahan berkali-kali.

Dari sudut latarnya, IQ berkembang di Eropa yang sejak Renaissance dan Aufklarung sangat memprioritaskan rasio. Itu dibuktikan dengan maraknya penelitian spekulatif-logis dalam ilmu humaniora dan penelitian rasional-empiris dalam ilmu eksakta. Aksentuasi ini masih berlangsung sampai sekarang, bahkan semestinya menjadi "residu" pasca pukulan telak postmodernitas.

Rekonstruksi Kecerdasan Lokal

Preriogasi IQ akan memangkas lokalitas setiap negara. Ketertinggalan Indonesia dalam hal IQ tidak sepatutnya selalu disalahkan, mengingat bangsa ini memiliki ciri khas tersendiri. Supranaturalitas dan tata laku adalah ciri khas peradaban Indonesia.

Realita mitis, magis dan mistis sudah mendarah-daging dalam bangsa ini sebelum kedatangan Barat. Realita demikian termasuk kecerdasan spiritual dan naturalis. Di sisi lain, tata laku terutama di teritori keraton menampilkan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal.

Karena itu, sangat masuk akal, jika Indonesia tidak kunjung mengimbangi negara-negara maju di Eropa, Amerika dan Asia Selatan. Meski demikian, Indonesia punya reputasi sebagai negara yang ramah-tamah, cinta damai bahkan CAF World Giving Index merilis Indonesia sebagai negara paling dermawan selama enam tahun berturut-turut. 

Prestasi ini seharusnya patut warga banggakan sebagai ciri khas yang tentunya dapat mengantarkan Indonesia sebagai role model perdamaian dunia. Hanya saja, prestasi tersebut sejauh ini berbenturan dengan dua realita miris. Pertama, kriminalitas dan krisis mental. Kedua, warga hanya memosisikan prestasi tersebut sebagai candu (obat penenang, bukan rencana jangka panjang). 

Akhir kata, sistem macam apa yang akan negara ini kembangkan guna melestarikan dan meningkatkan prestasi demikian?

*) Aldi Hidayat merupakan Pendiri sekaligus Ketua Komunitas Rendekar (Renaissance Akademisi-Intelektual Madura)

**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis

***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id

****) Ketentuan pengiriman naskah opini:

  • Naskah dikirim ke alamat email [email protected].
  • Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
  • Panjang naskah maksimal 800 kata
  • Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
  • Hak muat redaksi.(*)

Tombol Google News

Tags:

opini Aldi Hidayat IQ Kecerdasan Lokal