KETIK, SAMPANG – Saat malam mulai turun di sebuah desa kecil di Sampang, Madura, Jawa Timur, suara tawa dan denting alat musik terdengar dari rumah salah satu warga. Di halaman rumah yang diterangi lampu sederhana, puluhan orang tampak berkumpul.
Anak-anak berlarian, para wanita sibuk di dapur, dan para pria memainkan kartu sambil tertawa lepas. Inilah Lek Mellek, tradisi begadang yang dilakukan semalam sebelum pesta pernikahan.
Lek Mellek dalam bahasa Madura berarti begadang. Namun, begadang di sini bukan tanpa tujuan. Menjadi bagian penting dari proses pernikahan.
Di malam sebelum pesta digelar, warga sekitar rumah pengantin datang berbondong-bondong untuk membantu dan merayakan. Ada yang memasak, membersihkan rumah, menghias tenda, hingga sekadar bercengkrama sambil menyeruput kopi.
Lebih dari Sekadar Begadang.
Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun dan menjadi simbol kebersamaan serta solidaritas masyarakat Madura. Dalam budaya lokal, Lek Mellek tidak hanya membantu persiapan pernikahan, tapi juga mempererat silaturahmi yang oleh masyarakat disebut nyambung beleh.
“Lek Mellek itu ibaratnya kami menunjukkan bahwa kami peduli, bahwa kami ikut senang dengan kebahagiaan orang lain,” ujar Hamidun, warga Desa Torjunan sambil menyajikan kopi kepada tamu yang baru datang malam itu.
Masyarakat Madura dikenal sebagai perantau. Oleh karena itu, momen seperti ini menjadi saat yang sangat dinantikan untuk "toron" atau tradisi pulang kampung saat ada hajatan besar. Lek Mellek menjadi ruang temu lintas generasi, tempat cerita lama berulang, dan rasa kekeluargaan kembali dirajut.
Tak heran, jika tradisi ini tidak dilakukan, masyarakat bisa berasumsi bahwa sang tuan rumah pelit atau tidak ingin bersosialisasi. Bahkan ada ungkapan lokal yang menyindir, “tekeh, tandek sepanjang-polong karo tak luang nasek,” yang artinya kurang lebih, “pelit, tidak mau berkumpul keluarga, dan tidak mau menjamu tamu.”
Hiburan, Ibadah, dan Kontroversi.
Prosesi Lek Mellek biasanya dimulai sekitar pukul 9 malam hingga menjelang subuh. Tanpa undangan resmi, siapa saja boleh datang, baik laki-laki maupun perempuan.
Di satu sisi rumah, dapur memenuhi aktivitas. Para ibu dan remaja perempuan memasak masakan khas, menyiapkan camilan, atau membuat kopi. Di sisi lain, kaum laki-laki berkumpul dengan hiburan: karaoke, permainan kartu, hingga alat musik tradisional.
Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi ini juga menghadapi tantangan. Di beberapa tempat, permainan kartu yang awalnya untuk hiburan berubah menjadi perjudian kecil dengan taruhan uang atau rokok. Ada pula konsumsi minuman keras di beberapa acara, tergantung pada tuan rumah. Praktik ini mencakup, terutama dari sudut pandang agama.
Sebagian warga dan tokoh agama berupaya menjaga nilai-nilai keislaman dalam tradisi ini dengan mengadakan pengajian, pembacaan shalawat, hingga tahlilan sebagai bagian dari Lek Mellek. Kegiatan spiritual ini diyakini dapat mengarahkan kembali tradisi pada niat awalnya: berkumpul dalam kebaikan.
Menjaga Warisan Sosial.
Dahulu, Lek Mellek adalah acara yang sederhana, hanya melibatkan tetangga dan kerabat dekat. Namun sekarang, hampir seluruh warga desa datang membantu dan meramaikan. Tuan rumah pun menyuguhkan makanan dan hiburan seadanya, sebagai bentuk penghormatan atas kedatangan tamu.
Meski noda berbagai dinamika, tradisi Lek Mellek tetap menjadi kebanggaan masyarakat Madura. Di balik malam tanpa tidur, ada makna mendalam tentang gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab sosial yang tidak bisa diabaikan.
Di tengah kebisingan tawa dan aroma kopi yang mengepul, Lek Mellek tak hanya tentang persiapan pesta. Ia adalah pesta itu sendiri, pesta dari rasa kebersamaan yang semakin langka di tengah modernisasi.(*)