KETIK, PACITAN – Di sudut selatan area belakang Pasar Minulyo, Pacitan tempat suara toa masjid bersaing dengan teriakan penjual sayur — berdiri sebuah kios pakaian.
Di sanalah Astri (61), juragan baju kaum hawa masih setia menggantungkan hidup dari lembaran kain.
Kiosnya, terpampang daster bunga berdampingan akur dengan piyama karakter kartun, celana legging warna hitam, dan gamis murah meriah seharga upah buruh sehari kerja.
"Ini saya sama suami, jaga bareng. Anak-anak mah udah pada kerja, sudah dengan keluarganya masing-masing," kata Astri sambil menyusun daster baru yang masih wangi plastik pabrik, Selasa, 15 April 2025.
Ibu dua anak itu adalah satu dari sebagian besar pedagang pakaian yang masih setia berjualan dengan cara konvensional. "Nggak bisa Online-online. Ya begini ini," imbuhnya.
Tapi metode dagangnya bukan satu-satunya yang jadul. Ponsel Astri juga seolah bagian dari koleksi antik.
Pun Astri refleks membuka laci dan mengangkat ponsel yang tampak seperti alat komunikasi era penjajahan Belanda. Tombolnya besar, layarnya mungil, tapi tahan terhadap benturan.
"Gimana mau jualan online. Bisanya saja cuma pake HP jaman dulu (jadul),” celetuk Astri sambil menunjukkan HP Nokia 105 Dual SIM kepada Ketik.co.id
Berjalan ke kios lain area tengah, Nana (43), si penjual baju anak-anak, sedang khusyuk membalas pesan pelanggan via WhatsApp (WA).
"Kalau saya sih udah nyoba dikit-dikit online. Kirim foto ke grup atau story WA, biar mereka pilih, saya anter atau mereka jemput. Nggak ribet,” ujarnya sambil memamerkan ponsel pintarnya.
Tapi saat disarankan buat jualan via live TikTok, IG, dan E-commerce, wajah Nana langsung gusar seperti baru tahu kalau harga cabe naik drastis nyaris Rp100 ribu.
"Belum kalau itu. Ngomong depan kamera aja bingung, apalagi promosi daster lewat online. Bisa-bisa pelanggan malah kabur," ucapnya dengan tawa khas emak-emak.
Nana mengatakan, anjloknya daya beli pakaian di pasar mulai terasa sejak Juni 2022. Benar memang, paling terdampak adalah pedagang kain, dan jika ditunut mengikut tren, mereka tak mampu.
“Ya susah memang. Pembeli sekarang maunya belanja sambil rebahan. Klik-klik, baju langsung nyampe. Gak bisa ditawar sih, tapi katanya lebih praktis,” kata Nana geleng-geleng kepala.
Padahal, biaya sewa tetap jalan — Rp2,5 juta per tahun untuk bagian depan, dan Rp2 juta untuk lokasi belakang seperti kios Astri dan Nana. Mereka dan 40-an pedagang pakaian setempat mengaku mengalami hal serupa.
"Dulu bisa dua karung ngambi di Kota Solo per minggu. Sekarang, ya paling satu. Itu juga harus pilih-pilih motif yang kira-kira bikin pembeli pengen beli," tutur Nana soal perbandingan kulakan baju dulu dengan sekarang.
Di tengah pasar yang makin pelan nadinya, satu hal yang tetap berdenyut kencang adalah semangat para pedagangnya. Meski mereka tergerus digitalisasi, pedagang kain, Anik (50) percaya, rezeki tak selalu datang lewat algoritma online.
“Kalau ada pelatihan buat orang tua jualan online ya saya nggak bisa ikutan. Saya nitip saja yang muda buat ikut,” ujarnya sambil menatap langit-langit kiosnya yang berada di paling depan area pasar. (*)