KPU Pasaman Barat baru saja mengetuk palu pemenang Pilkada. Euforia pendukung belum sirna sepenuhnya. Status media sosial masih berkesan panas dan menohok lawan yang kalah. Sebagian terkesan jumawa, sedangkan yang kalah terpaksa berlapang dada.
Demikianlah setiap penyelenggaraan Pilkada, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sering kali menjadi ajang persaingan politik yang sengit. Perebutan suara dan kekuasaan sering menimbulkan rivalitas tajam antar kandidat dan pendukungnya.
Namun, setelah pemenang ditentukan, ada tantangan besar yang harus dihadapi yaitu menghindari jebakan politik balas dendam.
Apa Itu Politik Balas Dendam?
Politik balas dendam merujuk pada tindakan pemimpin terpilih yang menggunakan kekuasaan untuk menjatuhkan lawan politiknya, baik yang terjadi selama proses pemilu maupun setelahnya.
Bentuknya bisa berupa pemecatan pejabat yang dianggap pro-kubu lawan, kriminalisasi oposisi, hingga kebijakan yang diskriminatif terhadap daerah atau kelompok pendukung rival.
Meski terlihat sebagai upaya memperkuat kendali kekuasaan, politik balas dendam justru berisiko memperlemah pemerintahan dan merusak hubungan masyarakat.
Polarisasi sosial adalah salah satu dampak terbesar dari politik balas dendam. Tindakan ini dapat memperuncing perpecahan di masyarakat, terutama jika masyarakat telah terpolarisasi akibat kampanye. Alih-alih menyatukan, politik balas dendam justru memperpanjang konflik sosial.
Selain itu, erosi kepercayaan publik menjadi dampak yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin jika keputusan politik lebih banyak diwarnai dendam pribadi atau kelompok daripada keberpihakan pada kepentingan rakyat.
Terganggunya tata kelola pemerintahan juga menjadi masalah serius. Kebijakan berbasis balas dendam sering kali mengabaikan profesionalitas dan meritokrasi. Pemimpin cenderung mengganti pejabat kompeten dengan orang-orang loyalis, yang bisa merusak kualitas pelayanan publik.
Politik Balas Dendam Harus Dihindari
Pilkada bukan sekadar kontestasi untuk meraih kekuasaan, tetapi juga mandat untuk melayani masyarakat secara adil dan transparan. Pemimpin yang fokus pada balas dendam berisiko kehilangan arah dalam mewujudkan program kerja dan janji kampanye.
Selain itu, stabilitas politik dan sosial sangat dibutuhkan agar pembangunan dapat berjalan lancar. Pemimpin harus menjadi teladan dalam merangkul semua pihak, baik pendukung maupun lawan, untuk menciptakan harmoni pasca-pemilu.
Merangkul lawan politik adalah langkah pertama yang harus diambil. Pemimpin terpilih harus menunjukkan sikap besar hati dengan mengajak semua pihak berkolaborasi. Mengakui kontribusi lawan dalam demokrasi akan membangun iklim politik yang sehat.
Fokus pada program kerja juga menjadi kunci. Dengan menunjukkan keberhasilan melalui kerja nyata, pemimpin dapat membuktikan bahwa prioritasnya adalah kepentingan rakyat, bukan urusan pribadi atau kelompok.
Membangun tata kelola berbasis profesionalitas adalah hal penting lainnya. Pemimpin harus memilih pejabat berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan sekadar loyalitas politik. Dengan demikian, pemerintahan dapat berjalan efektif tanpa ada kesan politisasi jabatan.
Memperkuat dialog dan rekonsiliasi juga perlu dilakukan secara terus-menerus. Dialog dengan semua kelompok, termasuk lawan politik, harus dijalankan. Rekonsiliasi yang tulus akan mencegah ketegangan politik berkepanjangan.
Politik balas dendam adalah praktik yang tidak hanya merugikan pemimpin itu sendiri, tetapi juga masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang mampu meninggalkan rivalitas Pilkada dan mengarahkan energi untuk membangun daerah dengan adil, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Rakyat Pasaman Barat menantikan pemimpin yang besar hati, mengutamakan rekonsiliasi, dan mampu menjadi pemersatu di tengah keragaman. Itulah esensi sejati dari seorang pemimpin dalam sistem demokrasi.
*) Wawan Saputra merupakan jurnalis Ketik.co.id Biro Pasaman Barat.
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)