Ponpes Nahdjussalam Panyawungan, Berdiri 110 Tahun Silam di Tengah Keprihatinan Maraknya Judi

17 Maret 2025 01:10 17 Mar 2025 01:10

Thumbnail Ponpes Nahdjussalam Panyawungan, Berdiri 110 Tahun Silam di Tengah Keprihatinan Maraknya Judi
Masjid Ponpes Nadjussalam Panyawungan di Kampung Panyawungan, Desa Cileunyi Wetan Kec CIleunyi Kab Bandung. (Foto: PP Penyawungan)

KETIK, BANDUNG – Sebelum Pondok Pesantren (PP) Nahdjussalam Panyawungan merintis berdiri pada 1914 silam, Kampung Panyawungan di Desa CIleunyi Wetan, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, dulunya merupakan sebuah perkampungan yang menjadi tegal atau pusat arena judi. 

Judi yang paling dominan waktu itu adalah judi sabung ayam, selain judi adu domba. Warga Kampung Panyawungan pada saat itu masih menjadi masyarakat jahiliyyah, dalam artian buta terhadap agama. 

Namun begitu pada waktu itu, di Kampung Panyawungan juga ada dua kalangan aghniya (orang kaya)yaitu KH. Syarif dan KH. Afandi, yang merasa prihatin terhadap kondisi masyarakat setempat. 

Tahun 1914, keduanya meminta kepada KH. Kholil  bin KH Husen Nahrowi, dari Kampung Bojong Malati (dekat Kampung Panyawungan), untuk mengajar masyarakat dan mendirikan pondok pesantren (PP).

"Kiai Kholil pun menyanggupi, dengan membawa 15 santrinya ke Panyawungan pada tahun 1914. Untuk sementara, mereka menempati bagian kolong dari rumah Hj. Syarifah yang merupakan kerabat KH. Syarif. Inilah kobong awal untuk 15 santri yang menjadi cikal bakal berdirinya Ponpes Panyawungan pada 1916," tutur Riza M. Rojab, salah seorang keturunan Kiai Sepuh Kholil, kepada Ketik.co.id, Senin 10 Maret 2025.

Rencana pendirian PP ini didukung pula dari kalangan umaro atau pemerintah (lurah) Cileunyi Wetan yaitu Raden Atmajadikarta, serta dukungan bidu’ail fuqoro atau masyarakat Panyawungan.

Bermodalkan tanah wakaf, akhirnya PP Panyawungan mulai berdiri tahun 1916, di Kampung Panyawungan Desa Cileunyi Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Dengan dukungan keempat pilar tersebut di atas, PP Panyawungan berkembang pesat. Dari awalnya hanya 15 orang santri bawaan KH Kholil tahun 1914, hingga pada tahun 1917 sudah memiliki elemen dasar pesantren seperti masjid, asrama, dan madrasah.

Foto Masjid Ponpes Nadjussalam Panyawungan di Kampung Panyawungan, Desa Cileunyi Wetan Kec CIleunyi Kab Bandung. (Foto: PP Panyawungan)Masjid Ponpes Nadjussalam Panyawungan di Kampung Panyawungan, Desa Cileunyi Wetan Kec CIleunyi Kab Bandung. (Foto: PP Panyawungan)

Dari awal hingga saat ini, PP Panyawungan sudah 5 kali berganti generasi.

1. KH. Kholil (1916 – 1947) Masa Perintisan dan Perluasan Jaringan 

KH. Kholil lahir sekitar 1894 di Kampung Bojong Malati, Desa Cileunyi Wetan Kecamatan CIleunyi Kabupaten Bandung. Kholil adalah anak pertama dari pasangan Kiai Husen bin Eyang Ganda asal Ciawi Tasikmalaya, dan Hj. St. Maemunah yang keduanya juga merupakan penyiar agama di Kampung Bojong Malati.

Jika dikejar lebih jauh asal keluarganya, Kholil merupakan keturunan ke enam dari Syeh Abdul Muhyi-Tasikmalaya (seorang penyebar Islam di Jawa Barat). 

Kholil belajar Islam sejak dini dari orang tuanya. Beranjak dewasa ia mengembara ke berbagai pesantren di antaranya: Pesantren Kresek Garut, Pesantren Ciharashas, Pesantren Sukamiskin, dan Pesantren Banjar. Pada tahun 1947 Kiai Sepuh Kholil wafat.

2. KH. Tb. Ahmad Dzajuli (1947-1977) Pengokohan Spiritual

KH. Tb. Ahmad Dzajuli merupakan seorang ningrat dari Sukamiskin Kota Bandung, yang didirikan KH. Muhammad bin Alqo tahun 1881. 

Saat Ahmad Dzajuli masih menjadi seorang santri, KH. Kholil menjadikanya sebagai tangan kanan untuk berbagai urusan PP. Ia dinikahkan dengan Nyimas H. Banasiah, putri sulung KH. Kholil. 

Setelah KH. Kholil wafat 1947, Kiai Djazuli naik menjadi Kiai Sepuh PP Panyawungan.
 
Dzajuli dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh sufistik yang penuh kharisma. Banyak karomah dan kesalehannya yang disaksikan masyarakat dan menjadi cerita turun-temurun di masyarakat. 

Dalam masa kepemimpinannya, kondisi dan posisi PP Panyawungan sudah cukup kokoh, hingga membuat KH Dzajuli mengkonsentrasikan diri pada pembangunan spiritual. 

Kiai Dzajuli juga berhasil mempersatukan masyarakat Panyawungan dengan masyarakat kampung tetangga, seperti Kampung Bojong Malati, Kampung Kara, dan Kampung Galumpit dengan sebuah tradisi pawai obor yang dilaksanakan pada Maulid dan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.  KH. Tb Ahmad Djazuli wafat tahun 1977.

3. Kiai Syambas (1977-1980) Pemberi Nama Nahdjussalam 

KH. Syambas sudah mulai eksis sebagai kiai pondok saat KH. Tb. Ahmad Dzajuli masih menjabat kiai sepuh. Kiai Sambas yang merupakan putra ke-7 Mama Sepuh KH Husein Nahrowi, melanjutkan kepemimpinan pensantren setelah Kiai Djazuli wafat tahun 1977.

Tahun 1978, pemerintah menginstruksikan untuk memberikan nama formal pada setiap lembaga pasantren. Saat itulah Kiai Syambas memberi nama Nahdjussalam untuk PP Panyawungan. 

Kiai Syambas adalah satu-satunya kiai yang juga merupakan muballigh kondang Jawa Barat. Dari situ Kiai Syambas sudah mulai aktif di kepartaian dengan bergabung ke Masyumi. Jabatan tertinggi yang pernah dicapai adalah sebagai Dewan Pembina Tingkat Kabupaten. 

Dalam dunia perpolitikan KH. Syambas terus malang-melintang. Ketika pada tahun 1973 pemerintah menyempitkan partai ke dalam tiga wadah, dan PPP adalah wadah yang berunsurkan Islam, maka KH. Syambas pun ikut bergelut di dalamnya. Pada periode ini KH. Syambas sudah mulai ditemani oleh adik beliau yaitu KH. Athoillah dalam aktivitas kepartaiannya.

Masa kepemimpinananya yang singkat karena meninggal di usia yang relatif muda, menjadikan tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap kepesantrenan. Kiai Syambas wafat tahun 1980. 

4. KH. Athoillah (1980-2010) Masa Transisi Pesantren

Keberlangsungan Pimpinan Pesantren dilanjutkan putra ke-8 dari Mama Sepuh, yaitu KH. Athoillah periode 1980-2010.

Sepak terjang di masyarakat dan kemampuan berorganisasi menjadikan KH. Athoillah mempunyai jejaring yang luas dengan pihak pemerintahan dan kepartaian. Kiai Atho juga merupakan aktivis PPP.  

Namun persentuhan pesantren dengan politik vacum pasca reformasi. Selain faktor usia KH. Athoillah, faktor tidak ada kaderisasi juga menjadi faktor utama. 

Selain vacum politik, pesantren ini mulai mengalami kemunduran kuantitas jumlah santri dari rentang waktu 10 tahun terakhir. 

Pada masa keemasannya, sekitar tahun 1980 jumlah santri di pesantren ini menembus angka 700 santri. Tahun 2010, PP Nahdjussalam tercatat hanya memiliki 56 santri putra dan 13 santri putri. 

4. KH Tb Bibin Sarbini (2010-kini 2025)

Setelah KH. Athoillah wafat tahun 2010, sejak itu hngga tahun 2025 ini, pengasuh pesantren dilanjutkan KH. Tb Bibin Sarbini sebagai Kiai Sepuh dan KH. Bagja Al Mubarok sebagai Pimpinan Ponpes Nadjussalam Panyawungan, serta dibantu oleh pihak Keluarga Besar Seuweu Putu Panyawungan.

Pesantren Nadjussalam Panyawungan telah melahirkan ribuan alumni dan beberapa di antaranya banyak yang mendirikan PP baru, baik di wilayah Cileunyi, Bandung dan Jawa Barat umumnya. Di antara tokoh yang pernah mondok di Pesantren Panyawungan: Kiai Sudjai Pendiri Ponpes Al-Jawami, Kiai Abdul Qodir Ponpes Almardiyyah, Kiai Yazid Bustanul Wildan dan Kiai Abdurrahman Al-Mubarak.(*)

Tombol Google News

Tags:

ramadhan Ramadan ngabuburit ponpes Pesantren ponpes nadjussalam panyawungan ponpes panyawungan panyawungan